Friday, December 30, 2011

Dongeng Anak: Batu Karang dan Cerpelai dan Berhitung Sambil Bermain

Dongeng Anak: Batu Karang dan Cerpelai

Seekor cerpelai datang ke sebuah hutan. Ia melihat banyak tikus di sana. Bangsa cerpelai sangat suka memakan tikus. Maka, cerpelai itu pun bermaksud untuk tinggal di hutan itu. Cerpelai lalu mencari tempat berdiam di balik semak-semak. Keesokan harinya, ia berjalan menaiki sebuah bukit kecil. Di puncak bukit ada sebuah batu karang. Cerpelai duduk di atasnya. “Siapa kau?” hardik Batu Karang. “Siapa pun kau, jangan duduk di atasku!” “Aku akan duduk di sini selama aku suka,” kata Cerpelai. “Bukankah engkau tidak bisa ke mana-mana?” Batu Karang cuma bisa mengeluh karena tak ada yang bisa dilakukannya lagi. Sementara, Cerpelai duduk di atas kaki belakangnya. Ia mengangkat kaki depannya di muka tubuhnya, memandang ke langit, dan berpura-pura berdoa. Ketika matahari terbenam, Cerpelai menuruni bukit, kembali ke tempatnya berdiam. Keesokannya ia melakukan hal yang sama. Begitu pula keesokan harinya dan hari-hari seterusnya. Para tikus merasa heran sekali melihat tingkah Cerpelai. Mereka lalu ingin tahu apa yang tengah dilakukannya. Maka, selama beberapa hari mereka memerhatikan. 

Dongeng Anak: Batu Karang

Akhirnya, Pemimpin Para Tikus menugaskan seekor tikus muda untuk bertanya pada Cerpelai mengenai apa yang tengah dikerjakannya. Si Tikus Muda segera menemui Cerpelai. Tanyanya pada binatang itu. “Hei, Cerpelai, apa yang tengah kaukerjakan di sini?” “Aku tengah berdoa,” jawab Cerpelai. Si Tikus Muda menuruni bukit. Diceritakannya tentang apa yang tengah dilakukan Cerpelai pada tikus-tikus lain. Para tikus lalu berpendapat bahwa cerpelai itu binatang yang mulia serta bijak. Ketika matahari terbenam, mereka menunggu Cerpelai di kaki bukit. Ucap Pemimpin Para Tikus pada Cerpelai, “Kami ingin memberi penghormatan untukmu.” Tikus-tikus mengitari Cerpelai sebanyak tiga kali putaran. Kemudian mereka pulang. Tak seekor tikus pun tahu, kalau salah seekor dari mereka telah lenyap. Keesokan hari, ketika matahari terbenam, kembali para tikus menunggu Cerpelai di kaki bukit, kemudian memberi penghormatan seperti kemarin. Dan seekor tikus lenyap seusai itu. Waktu berlalu. Penghormatan terhadap Cerpelai terus dilakukan tikustikus setiap hari. Akibatnya jumlah mereka menyusut. Seekor demi seekor lenyap. 

Beberapa bulan kemudian, Pemimpin Para Tikus menyadari adanya keanehan di antara kaumnya. Segera ia mengadakan pertemuan. “Ada yang tak beres,” katanya. “Bangsa kita telah berkurang banyak. Aku kira mereka telah dimangsa cerpelai itu.” Para tikus memutuskan untuk memeriksa kediaman Cerpelai. Keesokan hari, s a a t Cerpelai tengah di puncak bukit, mereka melakukannya. Mereka menemukan tumpukan tulang-belulang tikus. Para tikus sangat marah dan bermaksud membuat perhitungan. Sore datang menjelang. Tikus-tikus bersiap-siap. Para tikus muda dan kuat menaiki bukit. Tikus-tikus lain menunggu di kaki bukit. Matahari lalu terbenam. Cerpelai menuruni bukit. Tikus-tikus muda dan kuat mendorong batu karang yang biasa diduduki Cerpelai. Batu bergerak, lalu menggelinding menuruni bukit. Cerpelai yang tengah memikirkan mangsanya tidak mendengar kedatangan batu itu. Akhirnya batu itu mendarat di atas tubuh Cerpelai. “Pergi!” omel Cerpelai. “Jangan duduki aku!” “Aku akan berada di sini selamanya!” ucap Batu Karang. “Bukankah aku tidak bisa ke mana-mana?”

Dongeng Anak: Berhitung Sambil Bermain

Satu, hitungan dimulai. Dua, kau dan aku berpegangan. Tiga, ayo kita bermain! Empat, kita berdiri tegak. Lima, mari bergoyang. Enam, kaki menendang-nendang. Tujuh, angkat tangan ke atas. Delapan, beri hormat! Sembilan, ayo duduk! Sepuluh, mari kita mulai lagi dari awal

Dongeng Anak: Batu Karang dan Cerpelai dan Berhitung Sambil Bermain

Thursday, December 29, 2011

Dongeng Anak: Ayam jago Kecil dan Anak rubah

Dongeng Anak: Ayam jago Kecil dan Anak rubah

Ada seekor ayam jago kecil berbulu merah. Tak jauh dari rumahnya, hidup seekor anak rubah bersama ibunya. Setiap pagi, si Anak Rubah berkata pada ibunya, "Bu, aku ingin sekali memakan ayam jago kecil itu. " "Tangkaplah olehmu," kata si Ibu. "Susah, Bu," timpal si Anak. "Pintu rumahnya selalu tertutupAku tak bisa masuk. ""Bodoh sekali kau," omel si Ibu. "Kau seekor rubah. Kau kuat, sedangkan ia cuma seekor ayam jago kecil. Carilah cara bagaimana menangkapnya. " Keesokan paginya si Anak Rubah pergi ke rumah si Ayam Jago Kecil. Ia membawa sebuah karung dan seutas taliIa bersembunyi di dekat pintu. tak  lama itu pintu terbuka.  

Si Ayam Jago Kecil keluar untuk mengambil air. Tak dilihatnya si Anak Rubah yang bersembunyi di dekat pintu. tanpa diketahui olehnya, rubah kecil itu masuk ke dalam rumah. Si Ayam Jago Kecil kemudian kembali. Ia masuk ke dalam rumah. Ditutupnya pintu. Betapa terkejutnya ia saat matanya melihat si Anak Rubah. "Oh, tolong, tolong!" Teriak si Ayam Jago Kecil. Akan tetapi, tak ada yang datang menolong. Saat itu hari masih sangat pagi. Para tetangga masih terlelap dalam tidurnya. "Apa kabar, Teman?" Sapa si Anak Rubah. ia tertawa senang. "Pagi ini kau akan menjadi santapanku yang sangat lezat. Hakhakhak! "Lalu, diburunya si Ayam Jago Kecil. 13 dan Anak Rubah 3. ayam, Si Ayam Jago Kecil cepat melompat ke atas lemari. “Nah, kini kau tak dapat menangkapku!” serunya. Si Anak Rubah mencoba melompat ke atas lemari. Namun, ia tidak dapat mencapainya. 

Dongeng Anak: Ayam jago Kecil dan Anak rubah

Lemari itu terlalu tinggi buatnya. Ia lalu kembali mencoba. Akan tetapi tetap tidak berhasil. Si Anak Rubah kemudian mencari akal. Lama ia berpikir. Katanya kemudian, “Lihat aku!” Ia lalu berputar-putar. Semakin lama semakin cepat putarannya. Si Ayam Jago Kecil memerhatikan. Kepalanya diputar-putar mengikuti gerakan si Anak Rubah. Bertambah lama bertambah cepat ia memutar kepalanya. Akhirnya ia merasa pusing, lalu jatuh dari atas lemari. Kepalanya terus diputar-putar. “Hakhakhak!” si Anak Rubah tertawa, penuh kegembiraan. Lalu  ditangkapnya si Ayam Jago Kecil. Dimasukkannya ke dalam karung. ia lalu mengikat karung itu kuat-kuat dengan tali. Dipanggulnya karung itu, lalu cepat keluar rumah. "Hakhakhak!" Tawanya sepanjang jalan. "Pagi ini pagi yang sangat menyenangkan bagiku. Sarapan yang sangat lezat akan segera kunikmati! " Si Anak Rubah sampai di rumahnya. Ia menemukan pintu rumah terkunci. Ibunya sedang tak ada. "Aku akan mencari Ibu dulu," kata si Anak Rubah. Diletakkannya karung di depan pintu, lalu pergi. Si Ayam Jago Kecil merogoh saku bajunya. Dikeluarkannya gunting, jarum, dan benang. Dengan gunting ia lalu melubangi karung. Setelah itu, ia cepat keluar dari karung itu.  

Dimasukkannya sebuah batu besar ke dalamnya. Lubang kemudian dijahitnya kembali. Kemudian si Ayam Jago Kecil cepat pulang. Dikuntjinja pintu. Si Anak Rubah kemudian kembali. Ia bersama ibunya. diangkatnya karung itu. Berat. Si Anak Rubah mengira si Ayam Jago Kecil masih ada di dalam karung. Dibawanya karung itu ke dalam rumah. Penuh hati-hati ia kemudian membuka karung. Olala! Betapa sangat kecewanya ia. Di dalam karung itu hanya menemukan sebuah batu besar. Si Ayam Jago Kecil tak ada. "Huh!" omel si Ibu. "Mana ayam itu? Batu dibilang ayam! Dasar bodoh! " Si Anak Rubah cepat keluar rumah. Dilihatnya rumah si Ayam Jago Kecil. Tampak si Ayam Jago Kecil tengah duduk di dekat jendela. "Hihkhihk!" Tawa si ​​Ayam Jago Kecil pada si Anak Rubah. "Apa kabar, Teman? Apakah kau sudah sarapan? " Si Anak Rubah cepat masuk ke dalam. Dibantingnya pintu keras-keras. Tawanya tak ada lagi. Ia kesal dan malu. Sementara perutnya melilit lapar, dan sarapannya yang lezat telah tak ada. Apa yang akan dimakannya?

Dongeng Anak: Ayam jago Kecil dan Anak rubah

Friday, December 23, 2011

Dongeng Anak: Belajar Mendengkur

Dongeng Anak: Belajar Mendengkur

Pus dan Kus adalah dua anak kucing milik Bu Mirna. Suatu pagi, dengan mata masih mengantuk Pus berkata pada Kus, “Apakah kau ingat dengkuran merdu ibu kita?” “Ya,” sahut Kus sambil memalingkan kepalanya pada Pus. “Dengkuran yang terdengar saat Ibu senang pada kita.” “Atau saat Ibu kasihan pada kita,” Pus ikut menimpali. “Atau saat Ibu ingin kita segera tidur,” Kus menambahkan lagi. “Seandainya aku dapat mendengkur!” ujar Pus. “Pernah kucoba, tapi kok susah, ya? Coba, kucoba lagi.” Namun, cuma suara tercekik yang keluar, seperti ada tulang ikan yang tersumbat di kerongkongan Pus. “Sekarang aku yang mencoba,” kata Kus. “Sudah benar?” tanya Kus setelah mencoba mendengkur. “Sama sekali belum,” timpal Pus. “Dengkuranmu sangat buruk. Suaramu seperti kucing sedang sakit. Tak seperti dengkuran Ibu yang selalu merdu dan penuh kedamaian.” Tiba-tiba seekor lebah besar dan berbulu lembut masuk ke dapur melalui jendela. 
Ia mendengung naik dan turun di depan kaca. Tampaknya, ia sedang berusaha mencari jalan keluar. “Dengar!” seru Kus. “Lebah itu sedang mendengkur! Ayo, kita tanya padanya bagaimana ia melakukannya!” Kus melompat ke sebuah kursi dan kemudian ke meja. Ia mengapai-gapaikan kaki depannya. “Hei, Lebah, dapatkah kau memberitahu kami cara mendengkur?” tanya Kus. “Mendengkur?” tanya si Lebah heran sambil berputar. “Aku tidak mendengkur! Aku berdengung seperti yang dilakukan semua lebah. Aku berdengung karena sayapku. Kau tak mempunyai sayap, berarti kau tidak dapat berdengung.” Tak lama kemudian, si Lebah menemukan bagian dari jendela yang terbuka. Ia pun keluar menuju matahari pagi yang bersinar lembut. “Jangan kauhiraukan,” hibur Pus. “Ia telah pergi. Tunggu! Coba kau dengar! Aku seperti mendengar suara dengkuran yang lain lagi.” Kus memasang telinganya. Ya, ia pun mendengar suara lembut dan indah. Ternyata, suara itu berasal dari ketel di atas kompor. Kus menghampiri ketel itu dan memandanginya. 

Ia lalu bertanya dengan sopan, “Ketel, dapatkah kau memberitahu kami cara mendengkur?” “Aku akan memberitahu kalian jika aku dapat,” jawab si Ketel dengan ramah. “Tapi, aku tidak dapat mendengkur. Yang kau dengar tadi adalah suara nyanyianku. Aku selalu menyanyi apabila air di dalam tubuhku telah mendidih. Bu Mirna akan mengangkatku dari atas kompor sebelum aku bergetar.” Bu Mirna pun masuk. Setelah yakin air dalam ketel telah mendidih, dia mengangkat ketel itu dari atas kompor. Dia lalu pergi ke ruang tamu mengambil mesin mengisap debu. Dia hendak membersihkan karpet. Mesin pengisap debu itu mengeluarkan suara desingan keras sewaktu mengisap debu. Kedua anak kucing itu menutup telinga mereka. Sesuatu sedang mendengkur dengan keras sekali. Lantai tampak bergetar. Pus dan Kus merayap ke bawah meja, memerhatikan mesin pengisap debu yang maju mundur di atas karpet dan mendengkur dengan sangat keras. Bu Mirna mematikan mesin pengisap debu itu sebentar. Suara berisik pun berhenti. Anak-anak kucing dengan tidak sabar bertanya, “Maukah kau mengajari kami cara mendengkur? Kami tidak perlu mendengkur terlalu keras sepertimu. Perlahan saja dan lembut.” “Aku tidak dapat mengajari kalian cara mendengkur,” raung si Mesin Pengisap Debu ketika Bu Mirna menyalakannya kembali. “Kalian harus memiliki kantung debu di dalam tubuh kalian dan juga mesin. Apa kalian mau memakan debu sepertiku? Kadang-kadang aku memakan juga peniti, batang korek api, rambut, dan batu-batu kecil. 

Apa kalian mau?” “Ah, tidak. Kami lebih suka memakan susu dan ikan. Terima kasih,” jawab kedua anak kucing, lalu mereka merangkak kembali ke dalam keranjang tidur mereka. “Sudahlah! Kita tak usah pusing memikirkan cara mendengkur,” kata Pus. “Tampaknya sangat sulit. Ayo, kita main saja! Aku akan mencoba menangkap ujung ekorku saja.” Pus lalu memutar-mutar tubuhnya. Ekornya pun ikut berputar sehingga ia tidak pernah dapat menangkapnya. Lucu sekali. Ketika berhenti berputar, ia merasa sangat pusing. Petang itu, ketika melihat Pus dan Kus, Bu Mirna meletakkan rajutannya di atas meja. Dia lalu membaringkan kedua anak kucing di pangkuannya dan mengusap-usap mereka dengan lembutnya. Ya, ia memang sangat menyayangi mereka. “Aku mendengar suara dengkuran,” ucap Pus. “Aku juga,” jawab Kus. “Begitu lembut. Dengkuran siapa, ya?” “Entahlah. Aku sudah mengantuk.” “Oh, kau yang mendengkur!” seru Kus gembira. “Bukan, itu kau!” tukas Pus. Mereka lalu mendengarkan suara dengkuran itu lagi. “Oh, itu suara dengkuran kita!” seru mereka gembira. Akhirnya, Pus dan Kus sangat bahagia karena dapat mendengkur seperti ibu mereka.

Dongeng Anak: Belajar Mendengkur

Tuesday, December 20, 2011

Dongeng Anak: Bangunlah, Pak Kus

Dongeng Anak: Bangunlah, Pak Kus

Matahari telah menampakkan diri. Bunga-bunga telah bermekaran dan burung-burung berkicau di sarangnya. Para binatang peliharaan pun telah terbangun. Mereka menggeliat, menguap, dan merasa lapar. Waktu terus berlalu. Para binatang peliharaan yang sedang kelaparan, mendengar burung-burung murai bernyanyi dan burung-burung merpati berkukur. Namun, mereka tidak juga mendengar suara derap sepatu Pak Kus yang sedang mereka nantikan. “Ku-ku-ru-yuk!” para Ayam Jantan berkokok. “Oh, tidak adakah yang mengeluarkan kami dari kandang ini dan memberi kami makan?” “Kut, kut, kut! Hai, apakah yang telah terjadi? Mengapa kita belum juga dikeluarkan dari kandang dan diberi makan?” tanya para Ayam Betina sambil mengepak-ngepakkan sayap mereka. 

Dongeng Anak: Bangunlah, Pak Kus

Mereka juga kelihatan kesal. “Moo, moo, moo!” Sapi menukas. “Pak Kus pasti datang dan memerah susuku! Aku mempunyai banyak susu!” “Meong, meong, meong!” ucap Kucing. “Aku ingin minum susu! Tempat susuku telah kering! Aku sudah sangat lapar!” “Aku juga ingin makan!” timpal Anjing. “Aku telah lama terbangun, tetapi belum juga diberi makan!” Kemudian, semua binatang peliharaan itu bersamasama berteriak dengan keras, “Bangunlah, Pak Kus! Keluarkan kami dan beri kami makan!” Namun, Pak Kus tidak mendengar. Tirai jendela kamarnya masih tertutup rapat. Dia masih tidur. “Tolonglah, bangunkan dia untuk kami!” kata para binatang pada matahari. “Akan kucoba,” jawab Matahari. “Jika aku dapat menemukan sebuah celah di antara tirai itu, aku akan membangunkannya.” Ia lalu segera mencari dan menemukannya. Ia mengirimkan sinarnya yang keemasan. Sinar itu menimpa wajah Pak Kus, tepat mengenai matanya.

Namun, Pak Kus tidak merasakan apa-apa. “Aku tak bisa membangunkannya. Tapi, aku menemukan sesuatu!” lapor Matahari pada mereka. “Aku melihat beker yang ada di sisi pembaringan Pak Kus berhenti! Beker itu tidak mengeluarkan bunyi. Barangkali mati tadi malam!” “Mati?” seru para binatang peliharaan. “Oh, dia pasti lupa memutarnya sebelum tidur!” “Ya, jam beker itu tidak berbunyi pada pukul enam seperti biasanya untuk membangunkan Pak Kus. Beker itu mati,” Matahari menambahkan. “Kita harus menemukan cara lain untuk membangunkannya,” para binatang peliharaan berkata, “atau kita semua tak akan memperoleh makanan hari ini.” “Aku akan mencoba untuk membangunkannya,” ucap Kucing. “Mudahmudahan aku dapat menemukan jalan untuk masuk ke kamarnya.” Ia segera memanjat dinding dan masuk melalui jendela yang terbuka. Ia mendarat perlahan di sisi Pak Kus dan mengetuk pelan beker itu dengan cakarnya. Pak Kus tersenyum dalam tidurnya. Ia lalu menggelitik hidung Pak Kus dengan kumisnya. Pak Kus bersin, tetapi kemudian melanjutkan tidurnya. Kucing lalu menggigit telinga Pak Kus dengan pelan. “Nyamuk-nyamuk nakal!” omel Pak Kus. Kemudian kucing itu menggigit telinga Pak Kus dengan lebih keras.

Pak Kus menyentilnya dengan jari telunjuknya. Dengan putus asa kucing itu menggigit keras-keras telinga Pak Kus hingga meninggalkan rasa sakit. Pak Kus terbangun dan duduk sambil memerhatikan si kucing. Kemudian dia melihat beker. Beker itu tidak berbunyi. Dia pun segera melompat dari pembaringan dan melihat ke arloji yang ada di atas meja. “Jam delapan! Oh!” teriak Pak Kus. “Aku kesiangan!” dia kembali berteriak. Segera dia berganti pakaian dan keluar. Para binatang peliharaan gembira mendengar suara derap sepatunya. Dia segera membuka pintu kandang dan memberi mereka makan. Dia pun tak lupa memerah susu. Setelah semuanya beres, Pak Kus duduk di ruang makan menikmati sarapannya. Dia makan dengan sangat lahap seperti para binatang peliharaannya. Ketika melihat kucingnya, dia memberi makanan tambahan berupa semangkuk besar bubur karena telah membangunkannya. Ya, Pak Kus telah lupa menyetel jam bekernya kemarin!

Dongeng Anak: Bangunlah, Pak Kus

Monday, December 19, 2011

Dongeng Anak: Biarkan Ia Bebas dan Bus Kecil Yang Takut Gelap

Dongeng Anak: Biarkan Ia Bebas

Aku punya seekor kutilang. Aku membelinya dari Kang Adun. Mama sangat tidak suka karena aku suka lalai pada peliharaanku, seperti yang kulakukan seminggu yang lalu. Aku minta dibelikan ikan koi. Mama lalu membelikannya. Mulanya aku merawatnya dengan baik. Tapi, kemudian aku melupakan peliharaanku. Aku tak memberinya makan dan juga tak mengganti-ganti airnya. Akibatnya, koi itu mati. Mama kesal melihatnya. “Awas kalau tidak merawatnya dengan baik,” ancam Mama, sewaktu aku merengek minta dibelikan seekor burung kutilang. “Aku janji akan merawatnya dengan baik, Ma,” ucapku. Mama pun mengizinkan. Aku lalu membeli seekor kutilang pada Kang Adun, si pedagang burung. Aku senang sekali dengan kutilangku. 
Setiap pagi sebelum ke sekolah, aku memberinya makan. Kuganti air minumnya. Namun, ternyata kutilang itu tidak lama kumiliki. Kemarin, setelah memberi makan dan minum kutilang itu, Aku lupa menutup pintu sangkarnya. Ketika aku kembali dari sekolah, kutilangku sudah tak ada. Pintu sangkarnya terbuka. Aku ingat apa yang telah aku lakukan pagi tadi. Aku lupa menutup pintu sangkar! Aku menyesali keteledoranku. “Sudahlah,” hibur Mama. “Bukankah lebih baik kutilang itu hidup bebas? Ia bisa pergi ke mana saja, mencari makan sesukanya, dan bermain bersama teman-temannya. Tidak enak, lho, hidup dalam sangkar, meski diberi makan. Bayangkan kalau kamu dikurung di rumah, tidak boleh ke mana-mana, tidak boleh bermain dengan teman-temanmu!” Aku merenungkan kata-kata Mama. Bila aku dikurung di rumah, tak boleh ke mana-mana, tak boleh bermain dengan teman-teman, hiii, pasti tak enak sekali! Seperti dipenjara rasanya, meski diberi makan enak, meski diberi banyak mainan. Aku bergidik ngeri.

Dongeng Anak: Bus Kecil Yang Takut Gelap

Ada sebuah bus kecil berwarna merah. Ia tinggal di sebuah garasi bersama ayah dan ibunya. Setiap pagi ketiganya diisi bensin dan air. Kemudian mereka mengangkut orang, dari desa tempat tinggal mereka ke kota besar di tepi laut, pulang balik. Si Bus Kecil selalu melakukan perjalanan di siang hari. Pada malam hari ia tidak berani. Ia sangat takut gelap. Suatu hari ibunya berkata, “Dengarlah! Ibu akan menceritakan sebuah cerita.” Ibu Bus lalu mulai bercerita, “Dulu sekali, Gelap takut pada bus. Tapi, Ibu Gelap yang secantik bunga melati berkata pada anaknya, ‘Kau tidak usah takut. Ayolah keluar! Sekarang sudah saatnya kau keluar. Kalau kau bersembunyi terus, orang-orang tidak tahu bahwa saat mereka untuk tidur telah tiba. Bintang-bintang pun tidak tahu bahwa sudah saatnya mereka keluar untuk memancarkan sinar. Ayolah keluar! Tak usah takut.’ Maka, Gelap yang tengah bersembunyi di balik matahari keluar dan merangkak turun ke jalan dan rumah-rumah. 

Dongeng Anak: Bus Kecil Yang Takut Gelap

Bus-bus tampak sedang bergerak ke sana ke mari. Gelap memberanikan diri merangkak lebih jauh. Tak lama kemudian, lampu-lampu di sepanjang jalan dinyalakan. Para sopir bis juga menyalakan lampu bus. “Gelap terus merayap. Ia tak menyadari ada sebuah bus bergerak menembusnya dan membunyikan klakson. Menyenangkan sekali! Gelap pun tersenyum gembira. Setelah itu banyak bus menembus Gelap dengan lampulampu mereka yang menyala. Orang-orang di dalam bus-bus pun tampak sangat menikmati suasana yang sangat indah itu. “Ketika bulan bersinar, Gelap bermain petak umpet di antara rumahrumah. Ketika pagi tiba, matahari bersinar dan mengantarkan Gelap pulang ke ibunya. Kini, Gelap tak takut lagi pada bus.” Ketika Ibu Bis selesai bercerita, si Bus Kecil berkata, “Saya siap untuk pergi keluar sekarang, Bu.” Ketika si Pengendara Bus Kecil datang dan menyalakan mesin serta lampu Bus Kecil, orang-orang mulai naik dan duduk. Setelah bus penuh, si Bus Kecil pun berangkat. Ia menembus gelap, menuruni bukit, menuju ke kota besar di tepi laut.

Dongeng Anak: Biarkan Ia Bebas dan Bus Kecil Yang Takut Gelap

Thursday, December 15, 2011

Dongeng Anak: Balasan Bagi Yang Rakus

Dongeng Anak: Balasan Bagi Yang Rakus

Suatu sore, seekor ayam jago berjalan mendatangi seekor gajah. Setelah dekat ia berkokok, “Ku-ku-ru-yuk!” Gajah merasa heran sekali. “Ada apa, Bung Ayam?” tanya Gajah. Ayam Jago tak menyahut. Dikepak-kepakkan sayapnya. Kakinya dikaiskaiskan ke tanah. Ia mematuki butiran beras. Lalu, kembali ia berkokok, “Kuku- ru-yuk!” Lama Gajah memerhatikan Ayam Jago. Tanyanya, “Bung Ayam, katakan padaku, siapa menurutmu yang makannya lebih banyak? Kau, atau aku?” Ayam Jago berhenti mematuk-matuk. Ditatapnya Gajah dengan tajam. Lalu katanya, “Tentu saja aku!” Gajah bersuara nyaring. Belalainya yang besar dan panjang diangkatnya. 

Dongeng Anak: Balasan Bagi Yang Rakus

Ayam Jago berkokok keras, “Ku-ku-ru-yuk! Aku tidak hanya makan lebih banyak darimu, hei, Pak Gajah, tapi juga aku makan lebih cepat!” Mereka lalu memutuskan untuk mengadakan pertandingan untuk menentukan siapa yang makannya paling banyak. Mereka mengundang semua binatang untuk datang ke tepi sungai. “Teman-teman, hari ini kita akan melihat siapa yang makannya lebih banyak. Ayam Jago atau Gajah?” Harimau berkata. Gajah dan Ayam Jago lalu mulai makan. Gajah makan sampai perutnya kenyang. “Aku mau berhenti makan. Jika tidak, perutku bisa meledak,” ucap Gajah setelah beberapa lama. Saat itu udara sore sangatlah panas. Gajah mengantuk. Segera ia terlelap. Ayam Jago terus saja makan. Dipatukinya butiran-butiran beras. “Ku-kuru- yuk!” ia berkokok. Para binatang yang menonton kesal melihatnya. “Jangan banyak lagak!” omel Ular. Ayam Jago tak memedulikan. Gelap hampir datang. Gajah bangun dari tidurnya. Ia melihat Ayam Jago yang masih makan. Binatang-binatang yang menonton memberitahunya kalau Ayam Jago belum juga berhenti makan sejak tadi. “Rakus sekali,” kata Gajah. Ayam Jago melihat ke arah Gajah. Ejeknya, “Apakah kau tidur nyenyak, Pak Gajah? Apakah kau tidak ingin meneruskan pertandingan? Ku-ku-ru-yuk! Kau tidak bakal menang! Kau lemah dan bodoh!” Gajah meneruskan makannya. Tak lama ia pun berhenti. “Oh, aku tak mampu untuk meneruskan makanku lagi!” keluhnya. “Perutku sakit sekali!” Ia memerhatikan Ayam Jago yang masih mematuki butiran beras. Ayam Jago sangat senang. “Aku menang! Akulah yang paling hebat!” serunya. Ia membentangkan sayapnya, kemudian melompat ke punggung Gajah. Penuh kemarahan Gajah menggoyangkan tubuhnya agar Ayam Jago turun. 

Ia lalu berlari masuk hutan. Ayam Jago mengepak-ngepakkan sayapnya lalu meneruskan makannya. Binatang-binatang yang menonton memerhatikan dengan heran Ayam Jago yang terus saja makan. Mereka merasa cemas. Cepat mereka menemui Gajah. “Bung Ayam,” menasihati Gajah, “kalau kau terus saja makan, kau akan sakit nanti. Berhentilah.” Namun, Ayam Jago terus saja mematuki butiran beras. “Ku-ku-ru-yuk!” Ayam Jago berkokok. Binatang-binatang yang menonton bubar. Baru saja mereka akan memasuki hutan, ketika tiba-tiba mereka mendengar suara aneh. Suara Ayam Jago! Binatang-binatang itu cepat mendatangi Ayam Jago kembali. Mereka melihat muka ayam itu memerah. Lidahnya kelu. Lehernya tercekik karena kebanyakan makan. “T-tol-tolong ak-akuuu!” seru Ayam Jago. Ia menggeloso roboh dan mati. “Itulah akibat terlalu rakus,” ucap Gajah pilu.

Friday, November 11, 2011

Dongeng Anak: Dua Putra Raja

Dongeng Anak: Dua Putra Raja

Raja Tua Kroda sangat bingung. Pasalnya, dia belum juga bisa memutuskan siapa yang bakal menggantikannya sebagai raja di Kerajaan Kroda. Pangeran Sulung, ataukah Pangeran Bungsu? Akhirnya Raja Tua Kroda mengambil jalan: dia akan menguji kedua putranya itu. Maka, suatu hari dia berkata pada Pangeran Sulung, “Anakku, aku akan menugaskanmu untuk melihat-lihat keadaan negeri kita. Berangkatlah besok. Ini sekantong uang emas sebagai bekalmu.” Pangeran Sulung pun berangkat keesokannya. Dia menaiki kuda kesayangannya. Saat melewati pinggir hutan, Pangeran Sulung melihat seekor rusa yang terjebak dalam sebuah perangkap. Pangeran Sulung merasa kasihan. Dibebaskannya rusa itu. 

Dongeng Anak: Dua Putra Raja

Seorang lelaki tua lalu muncul. “Anak muda,” ucapnya, “kau sungguh telah melakukan kesalahan besar dengan melepas rusa itu. Binatang itu punyaku. Telah berhari-hari aku memburunya. Kau telah membuatku rugi. Kau harus menggantinya. Jika tidak bersedia, terpaksa aku akan melaporkanmu kepada Raja.” Pangeran Sulung tak ingin persoalan itu dibawa ke hadapan Raja. Maka dia pun berkata, “Ini sekantong uang emas untuk mengganti kerugian itu.” Si Lelaki Tua mengambilnya, lalu pergi. Dengan lesu Pangeran Sulung meneruskan perjalanan. Belum juga jauh, seorang lelaki brewok tiba-tiba menghadangnya. “Berhentilah kau, Anak Muda. Akhirnya kau kutemukan juga,” katanya. “Cepat kembalikan kuda yang kau curi itu. Jika tidak, aku akan melaporkanmu kepada Raja.” Pangeran Sulung ketakutan. 

Maka diberikannyalah kudanya pada si Brewok. Si Brewok segera meninggalkan tempat itu. Pangeran Sulung amat bingung. Kini dia tak punya uang. Begitu pula dengan kuda tunggangannya. Akhirnya dia memutuskan untuk kembali saja. Raja Tua Kroda yang kemudian mendengar ceritanya tak berkomentar apa-apa. Raja Tua Kroda kemudian memanggil Pangeran Bungsu. Lalu katanya, “Anakku, kini aku menugaskanmu untuk melihat-lihat keadaan negeri kita. Berangkatlah besok. Dan ini, sekantong uang emas sebagai bekalmu.” Keesokannya, dengan menaiki kudanya, Pangeran Bungsu berangkat. Saat melewati pinggir hutan, matanya melihat seekor rusa yang kena perangkap. Pangeran Bungsu merasa kasihan. Dibebaskannya rusa itu. Seorang lelaki tua lalu muncul dan berkata, “Anak muda, kau telah melakukan kesalahan yang amat besar dengan melepas rusa itu. Rusa itu punyaku. Telah berhari hari aku memburunya. Kau telah membuatku rugi. Kau harus menggantinya. Jika tidak, terpaksa aku akan melaporkanmu kepada Raja.” “Hahaha!” Pangeran Bungsu tertawa. “Akhirnya ketahuan juga,” katanya. “Ternyata Bapaklah orang yang selama ini menangkapi rusa-rusa di hutan ini. Bapak telah melawan peraturan Raja, yang melarang berburu rusa di sini. Sekarang Bapak akan saya bawa ke depan Raja.” Lelaki tua itu ketakutan. 

Dia tidak ingin dibawa ke hadapan raja. Katanya, “Anak muda, ambillah kantong berisi uang emas ini. Setelah itu, bebaskanlah aku. Jangan kau menghadapkanku kepada Raja.” Pangeran Bungsu menerimanya. Lalu diteruskannya perjalanan. Belum begitu jauh, seorang lelaki brewok tiba-tiba menghadangnya. Seru orang itu, “Akhirnya kutemukan juga kau, pencuri kuda! Kembalikan kuda itu! Atau kau ingin aku melaporkanmu kepada Raja?” Pangeran Bungsu tak takut. Tersenyum dia berkata, “Rupanya Bapak pemilik kuda ini. Sudah lama saya mencari. Bukan untuk mengembalikan kuda ini, tetapi untuk melaporkan Bapak kepada Raja atas perlakuan kejam Bapak terhadap kuda ini. Kuda ini datang kepada saya dan menceritakan kekejaman Bapak padanya. Tenaganya diperas, diberi pekerjaan-pekerjaan yang berat, tetapi tak pernah diberi cukup makan. Tubuhnya yang kian kurus, lemah, serta tidak terurus tak diperhatikan. Bapak amat jahat. Ayo, ikut ke istana!” Si Brewok amat takut. Dengan tubuh gemetar dia berkata, “Anak muda, jangan bawa aku ke hadapan Raja. Ini sekantong uang emas untukmu.” Pangeran Bungsu mengambilnya. Lalu dia melanjutkan perjalanan. Setelah puas melihat-lihat keadaan negerinya, Pangeran Bungsu cepat kembali ke istana. Diceritakannya semua yang telah dialaminya pada ayahnya. Raja Tua Kroda tampak senang. Dia lalu mengatakan bahwa si Lelaki Tua dan si Brewok adalah orang-orang suruhannya. Setelah itu dia memutuskan: Pangeran Bungsu lah penggantinya. Dan keputusan itu memang tepat. Di bawah pemerintahan Pangeran Bungsu yang pintar dan cerdik, Kerajaan Kroda kemudian menjadi negeri yang besar, makmur, dan disegani.

Dongeng Anak: Dua Putra Raja

Thursday, November 3, 2011

Dongeng Anak: Burung Itu Bersarang di Topi Kakek dan Burung Gagak dan Burung Merak

Dongeng Anak: Burung Itu Bersarang di Topi Kakek

Sekolah sedang libur panjang. Andi berlibur di rumah Kakek di desa. Sudah tiga hari dia di situ. Penuh suka cita dia membantu Kakek bekerja di kebun. Memakai topi pandan tuanya, Kakek giat berkebun. Kata Nenek, topi itu seharusnya dibuang saja. Habis sudah jelek sekali. Banyak bolong-bolong di sana-sini. “Tidak. Topi ini masih enak dipakai. Aku sangat menyukainya,” kata Kakek menolak ucapan Nenek. Matahari beranjak tinggi. Sinarnya mulai terasa menyengat panas. Kakek berhenti mencangkul. Dia mendatangi pohon mangga di tepi kebun. Dilepasnya topi. Diletakkannya di satu cabang pohon itu. Kakek lalu duduk bersandar di batang pohon itu melepas lelah. Setelah lelahnya lenyap, dia kembali mencangkul. “Hei, berhentilah! Ayo, makan dulu!” Nenek memanggil dari rumah. Kakek dan Andi cepat datang. Keduanya lalu lahap menikmati hidangan. Seusai itu Kakek ingat akan topinya.

Dongeng Anak: Burung Itu Bersarang di Topi Kakek

Disuruhnya Andi mengambil topi itu. Andi melakukan. Tak lama dia telah kembali. “Kakek, Kakek, wah, topi Kakek telah penuh dengan rumput kering!” katanya. Bersama Andi, Kakek cepat mendatangi pohon mangga di mana dia meletakkan topi itu. Setibanya di sana, mereka menemukan seekor burung murai tengah membuat sarang di topi itu. “Sssst!” ucap Kakek. “Yuk, kita pergi dari sini! Biarkan saja burung itu bersarang di situ.” Beberapa hari kemudian Kakek, Nenek, dan Andi melihat topi itu. Di dalamnya sudah ada lima butir telur. “Hihihi!” Nenek tertawa. “Topi itu memang cocok untuk sarang burung!” “Ya, ya, Nenek benar!” timpal Andi. “Huh!” dengus Kakek. “Hihihi!” “Hahaha!” Nenek dan Andi terpingkal-pingkal. Kakek tersenyum kecut.

Dongeng Anak: Burung Gagak dan Burung Merak

Dulu, setelah dunia selesai diciptakan, burung gagak dan burung merak adalah dua sahabat yang rukun. Ketika itu warna bulu gagak tidak hitam seperti sekarang dan warna bulu merak tidaklah seindah kini. Meskipun kedua burung itu bersahabat, mereka memiliki tabiat yang sangat berbeda. Merak selalu kelihatan rapi, sedangkan Gagak tampak begitu jorok. Gagak amat jarang membersihkan tubuhnya dan makanannya pun apa saja. Merak rajin sekali membersihkan tubuhnya setiap hari dan hanya makan buah serta sayur yang segar-segar. Merak selalu menjaga kebersihan sarangnya, tetapi Gagak tak peduli dengan sarangnya yang penuh dengan sampah. Suatu hari, Gagak dan Merak bercakap-cakap di tepi sungai. “Sungguh membanggakan bila bulu yang kita miliki warnanya indah,” kata Merak. “Tidakkah kau bosan dengan warna bulumu yang hanya putih itu?” “Ya, sungguh membosankan,” sahut Gagak. “Bagaimana kalau kita mencari bahan pewarna? Mula-mula aku mengecat bulu-bulumu, kemudian kau mengecatku. Bagaimana?” Merak setuju. Setelah berhasil mengumpulkan bahan pewarna, mulailah Gagak mengecat bulu-bulu Merak.

Dongeng Anak: Burung Gagak dan Burung Merak

Merak yang selalu tampak rapi memberitahukan warna apa saja yang harus digunakan. Gagak mengecat Merak dengan warna-warna yang sangat indah. “Sekarang giliranku mewarnaimu,” kata Merak. Maka, mulailah ia mengecat Gagak. Gagak merasa perutnya lapar. Dan ketika melihat bangkai seekor tikus terapung di sungai, ia tidak mau berlama-lama. “Gunakan saja satu warna!” suruhnya. “Aku tak mau kehilangan makananku.” “Sabar, Teman,” timpal Merak. “Bukankah kau menginginkan warna bulumu indah?” “Aku tak peduli!” sahut Gagak. “Aku tak mau kelaparan! Warnai saja buluku dengan warna hitam!” Merak melakukannya. Setelah selesai, Gagak melesat terbang untuk menyantap bangkai tikus. Sejak saat itu, bulu burung merak berwarna indah dan bulu burung gagak berwarna hitam.

Saturday, October 29, 2011

Dongeng Anak: Anjing Itu Menyelamatkan Si Anak Yatim dan Amin Yang Baik Hati

Dongeng Anak: Anjing Itu Menyelamatkan Si Anak Yatim

Buli adalah seekor anjing. Ia tinggal di peternakan keluarga Doni. Tubuhnya kecil. Bulunya berwarna cokelat. Ayah Doni telah mengajarinya beberapa hal. Dia mengajarinya bagaimana mengambil suatu benda. Dia juga mengajarinya bagaimana membawa benda. “Ia anjing yang pandai. Ia dapat membawa sebutir telur dengan mulutnya tanpa pecah,” ucap ayah Doni bangga. Suatu hari Doni mendengar suara keras. Dia melihat ke luar jendela. Di depan sana tampak sebuah truk menuju peternakan. Rem truk itu blong dan Pak Sopir tak dapat menghentikannya. “Cepat buka pintu peternakan!” teriak Pak Sopir. Truk terus melaju. Dua pekerja peternakan cepat-cepat membuka pintu. Truk memasuki peternakan.

Dongeng Anak: Anjing Itu Menyelamatkan Si Anak Yatim

Beruntung saat itu semua ternak berada di kandang. Namun, tiba-tiba seekor induk ayam dan anak-anaknya melintasi jalan yang akan dilalui truk. “Hush, hush!” seru ayah Doni menghalau ayam-ayam itu. Seorang pekerja melempar batu ke arah ayam-ayam itu. Induk ayam cepat membawa anakanaknya menyingkir dari jalan itu. Oh, ternyata tak semua anak ayam mengikuti induknya. Seekor anak ayam tertinggal di tengah jalan. Ia menciap-ciap dengan keras. Sementara itu truk terus melaju. Kalau tidak cepat menyingkir, anak ayam itu bisa terlindas truk.Doni, ayahnya, dan semua yang ada di peternakan itu hanya bisa terdiam melihatnya.

Tak ada yang bisa mereka lakukan untuk menyelamatkan anak ayam itu. Tiba-tiba, siuuut! Dengan gerakan sangat cepat, Buli melesat ke arah anak ayam itu. Cepat digigitnya anak itu, lalu, siuuut … Buli cepat menyingkir dari jalan itu. Anak ayam itu selamat. Truk terus melaju menuju bukit kecil di ujung jalan dan akhirnya berhenti karena tak kuat menanjak. “Kau anjing yang pandai!” ucap ayah Doni pada Buli amat bangga. “Kau juga pemberani!” “Guk, guk, guk!”

Dongeng Anak:Amin Yang Baik Hati

Amin berjalan-jalan tidak jauh dari rumahnya. Dia memerhatikan burung, bunga, dan pepohonan. Dia terus berjalan hingga masuk ke dalam hutan. Tidak berapa lama hari pun gelap. Amin bermaksud pulang. Dia mencari jalan menuju rumahnya. Namun, dia tidak dapat mengingat jalan pulang. Amin tersesat. Karena sangat letih, dia duduk di bawah sebuah pohon yang besar. “Barangkali, jika aku beristirahat sebentar, aku akan dapat mengingat jalan pulang,” pikirnya. Segera ia tertidur lelap. “Tolong! Tolong!” terdengar teriakan. Amin terbangun dan memerhatikan sekelilingnya. Siapa yang berteriak? Dia melihat seekor ular yang besar.

Dongeng Anak:Amin Yang Baik Hati

Ular itu bergerak perlahan menaiki pohon. Ia akan memangsa anak-anak burung yang berada di sarang di sebatang cabang yang tinggi pohon itu. Anak-anak burung itu masih sangat kecil dan belum bisa terbang. Mereka mengepak-ngepakkan sayap dan berteriak. Si ular jahat terus bergerak. Amin memerhatikan dengan cemas ketika ular itu membuka lebar mulutnya. Dia mengambil sebatang ranting, memanjat pohon, dan memukul si ular. Szzzz! Szzzz! Ular itu menyerang Amin dengan ganas sekali. Berkali-kali Amin memukulnya. Dan terjadilah perkelahian yang seru. Si ular sangat panjang dan kuat sedangkan Amin yang masih muda, kuat dan sangatlah berani. Ular itu kewalahan dan akhirnya melarikan diri. Anak-anak burung mencicit gembira. Amin telah menyelamatkan mereka. Amin telah menjadi pahlawan mereka! Karena amat letih, Amin berbaring di tanah dan kembali tertidur dengan lelapnya. Tiba-tiba angin bertiup sangat keras. Pohon-pohon bergoyang. Semua binatang ketakutan dan lari bersembunyi. “Awas, si burung raksasa! Ia telah kembali!” teriak mereka. “Bersembunyilah!

Ayo, segeralah bersembunyi!” Para binatang itu pun bersembunyi di sarang mereka sambil berjaga-jaga. Anak-anak burung berseru gembira menyambut kedatangan induknya. Ketika hampir mendarat, si burung raksasa tiba-tiba melihat Amin yang tertidur lelap di bawah pohon. “Manusia!” pekiknya. “Aku akan mencabik-cabiknya hingga hancur dengan cakarku yang tajam!” Anak-anaknya berteriak, “Ibu, jangan melukainya! Dia teman kami! Dia telah mengusir si ular jahat dan menyelamatkan hidup kami!”

Si burung raksasa memerhatikan Amin. Amin terbangun dari tidurnya. Dia menggeliat. Ketika melihat si burung raksasa, dia amat kaget. Belum pernah Amin melihat burung seperti itu. Sayapnya yang lebar menutupi sebagian permukaan tanah tempat dia berbaring. Namun, dia tidak merasa takut. Amin pun menyapanya. Si burung raksasa mengangguk. “Kau lapar?” ia bertanya kepada Amin sambil menyodorkan buah-buahan yang ada dalam genggaman cakarnya. Amin mengangguk. Dia lalu mengulurkan tangannya untuk menerima buah-buahan yang disodorkan si burung raksasa. “Kami juga lapar, Bu!” seru anak-anaknya tak sabar. Segera si burung raksasa memberi mereka makan. Amin mengucapkan terima kasih.

Karena masih mengantuk, Amin pun tidur kembali. Sepanjang malam si burung raksasa menjaganya. Ia membentangkan sayapnya lebarlebar untuk melindungi Amin dari dingin malam yang amat menusuk. Keesokan paginya, ketika Amin bangun dia menemukan dirinya ditutupi sayap yang sangat besar. Amin merasa ngeri. “Jangan takut. Aku menutupimu agar tidak kedinginan,” jelas si burung raksasa. “Karena kau telah menyelamatkan anak-anakku, kini aku akan melakukan apa pun yang kauminta.” Amin mengucapkan terima kasih. Amin lalu menceritakan kisahnya dan minta diantarkan pulang. “Baiklah. Tapi, makanlah dulu.” “Kami juga lapar, Bu,” teriak anak-anaknya. Selesai makan, si burung raksasa mengantarkan Amin pulang. Sebelum berangkat ia berpesan, “Berpeganglah kuat-kuat pada tubuhku! Jangan dilepas! Hari ini angin berembus sangat kencang.”

Amin lalu naik ke punggung si burung raksasa. Anak-anak burung berteriak mengucapkan selamat jalan dan meminta Amin datang kembali di lain hari. Si burung raksasa segera mengangkasa membawa Amin. Tidak berapa lama Amin melihat rumahnya. “Itu rumahku!” serunya sangat gembira. Perlahan-lahan si burung raksasa mendarat, menurunkan Amin. Sebelum pergi, sekali lagi ia mengucapkan terima kasih dan tidak akan melupakan kebaikan Amin.

Dongeng Anak: Anjing Itu Menyelamatkan Si Anak Yatim dan Amin Yang Baik Hati

Wednesday, October 12, 2011

Dongeng Anak: Buah Semangka Pak Rio dan Buaya Sama Burung Penyanyi

Dongeng Anak: Buah Semangka Pak Rio

Pak Rio menatap buah semangkanya dengan sedih. Kemarin, buah itu sangat segar dan besar. Tapi kini? Oh, buah itu mengerut layu dan membusuk! Pak Rio duduk termangu memikirkan hal itu. Air matanya menetes. “Oh, berhentilah menangis! Air matamu membuat aku basah kuyup!” satu suara terdengar marah. Pak Rio melihat ke bawah. Dia menemukan seekor tikus kebun sedang memeras pakaiannya. “Oh, maaf,” seru Pak Rio. “Aku sangat sedih. Tadinya aku berharap tahun ini aku bisa menang di lomba buah semangka terbaik. Tapi… kejadian seperti tahun-tahun lalu terjadi lagi. Buah semangkaku yang besar dan cantik tiba-tiba saja membusuk sebelum aku mengikuti lomba itu. Pak Kuro, tetangga sebelah rumahku, pasti akan memenangkan lomba itu, seperti tahun-tahun lalu. Buah semangkanya tak pernah mengalami hal buruk seperti yang selalu aku alami.” “Aku tahu mengapa kau tidak pernah bisa memenangkan lomba itu,” kata si Tikus Kebun. “Suatu malam aku keluar dari liangku. Aku melihat Pak Kuro menusukkan sebatang kayu seperti jarum ke semangkamu. Itu sebabnya buah semangkamu membusuk.

Dongeng Anak: Buah Semangka Pak Rio

Tapi tak usah sedih. Aku akan membantumu. Aku punya teman yang bisa menolongmu. Apa kau masih punya buah semangka?” “Ada. Tapi kecil.” Pak Rio menunjukkan buah semangkanya yang hampir sebesar ketimun. “Kau pasti akan memenangkan lomba itu,” kata si Tikus kebun. Ia kemudian bergegas menuju gua di tengah hutan, menemui kawannya, si Pengatur Cuaca. Tikus Kebun menceritakan kesusahan yang dialami Pak Kuro. “Tenanglah,” kata si Pengatur Cuaca. “Itu mudah. Aku akan membuat matahari bersinar terik selama tiga hari sebelum lomba itu diadakan. Buah semangka Pak Rio akan tumbuh besar, melebihi buah semangka sebelumnya. Namun, buah semangka Pak Kuro akan menjadi sangat masak dan membusuk.” Si Tikus Kebun merasa senang. Dan seperti janji si Pengatur Cuaca, matahari pun bersinar lebih terik dari biasanya. Buah semangka Pak Rio tumbuh lebih besar dari buah-buah semangka sebelumnya. Pak Rio sangat senang. Sementara di kebun sebelah, terdengar suara marah-marah Pak Kuro sebab semangkanya membusuk. Saat lomba, olala, tentu saja buah semangka Pak Rio menjadi pemenang. Buah itu sangat besar. Belum pernah ada semangka sebesar itu selama ini. Semua orang sangat kagum. Sementara itu, Pak Kuro merasa malu sekali. Pak Rio mengucapkan terima kasih pada Tikus Kebun. Dia memintanya tinggal di kebunnya dan memberinya makan setiap hari.


Dongeng Anak: Buaya dan Burung Penyanyi

Buaya dan Burung Penyanyi bersahabat akrab. Hari ini mereka asyik bercakap. Burung Penyanyi bertengger di hidung Buaya. Namun, beberapa saat kemudian, Buaya merasa mengantuk. Ia mengusap dan membuka mulutnya lebar. Oh, Burung Penyanyi yang bertengger di hidung Buaya terpeleset masuk ke dalam mulut Buaya. Sayangnya, Buaya tidak tahu. Ia bingung mencari Burung Penyanyi yang kini tak ada lagi di hidungnya. “Aneh! Ke mana Burung Penyanyi?” gumam Buaya. “Ia pasti sedang mengajakku bercanda.” Buaya melihat ke belakang, ke ekornya. Namun, burung itu tidak ada. Buaya lalu mencari Burung Penyanyi di semak-semak. Ia memasukkan moncongnya ke semak-semak di tepi sungai. Namun, Burung Penyanyi tetap tidak ditemukannya. “Ke mana ia?” gumam Buaya kembali. Buaya akhirnya memejamkan mata untuk tidur. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar senandung merdu yang keluar dari dalam dirinya. “Oh!” serunya heran. Matanya terbuka lebar. “Selama hidup, baru kali ini aku dapat bernyanyi. Wow, aku akan mengajak Burung Penyanyi sahabatku untuk bernyanyi bersama. Pasti akan sangat menyenangkan!” Buaya kemudian asyik mendengarkan senandung yang keluar dari dalam dirinya. Setelah beberapa lama ia merasa lelah.
Ia lalu membuka mulutnya dan menguap lebar-lebar. Ketika akan menutup matanya, ia melihat satu makhluk bertengger di hidungnya. Makhluk itu kelihatan sangat marah. Ia si Burung Penyanyi. “Kau jahat!” omel burung itu. “Mengapa kau tidak memberi tahu kalau ingin membuka mulut? Aku terjatuh ke dalam mulutmu, tahu? Menyebalkan!” Buaya mengernyitkan dahi. “Jadi,” katanya, “senandung yang terdengar dari dalam diriku itu suara senandungmu? Bukan senandungku?” “Ya!” jawab Burung Penyanyi. Ekornya digoyang-goyangkan. “Kau kan tahu, kau tidak bisa bernyanyi sama sekali! Suaramu sangat sumbang! Tak enak didengar!” Buaya sangat sedih mendengar perkataan itu. Air matanya menetes. “Aku pikir senandung itu suaraku,” katanya pilu. “Kau tahu, aku ingin sekali bisa bernyanyi. Tadi kupikir aku sudah bisa menyanyi. Ternyata? Oh, betapa malangnya aku yang bersuara buruk!” Burung Penyanyi merasa iba. Ia segera mencari cara untuk menghibur sahabatnya itu. “Teman, bagaimana kalau kau membuat gelembung gelembung air dan aku bersenandung? Kita lakukan secara bersamaan. Suara yang terdengar pasti sangat enak didengar.” Buaya setuju. Ia lalu memasukkan moncongnya ke dalam air dan membuat gelembung-gelembung. Burung Penyanyi bernyanyi. Suara nyanyiannya sangat pas dengan suara gelembung-gelembung air yang dibuat Buaya. Buaya senang sekali. Sejak itu mereka berdua selalu melakukan hal itu setiap hari. Agar Burung Penyanyi tidak masuk lagi ke dalam mulutnya, Buaya selalu memberi tahu dulu sebelum membuka mulutnya. Wow, mereka rukun, ya!

Dongeng Anak: Buah Semangka Pak Rio dan Buaya Sama Burung Penyanyi

Friday, September 2, 2011

Dongeng Anak: Burung Kecil di Depan Jendela dan Cerita yang Tak Sampai Pada Raja

Dongeng Anak: Burung Kecil di Depan Jendela

Kulihat seekor burung kecil di depan jendela kamarku. Burung itu melompat-lompat penuh riang. Kudekati jendela untuk mengatakan ‘apa kabar?’ pada burung itu. Tapi, werrr! Burung itu terbang menjauh. Aku memerhatikan penuh kecewa.

Dongeng Anak: Burung Kecil di Depan Jendela

Dongeng Anak: Cerita yang Tak Sampai Pada Raja

Pagi baru saja muncul. Sinar mentari yang hangat menyinari bumi. Seekor anak itik berjalan tergesa-gesa di sebuah jalan setapak menuju pasar. Ia diperintah ibunya untuk berberlanja. Anak itik itu belum punya banyak pengalaman. Sebuah melinjo tiba-tiba jatuh dan menimpa kepalanya. “Aduh!” seru Anak Itik itu. “Langit runtuh, dan menimpa kepalaku!” Anak itik itu ketakutan. “Aku harus melaporkan hal ini kepada Raja!” Anak itik itu mempercepat langkahnya. Belum jauh ia bersua dengan seekor ayam betina yang hendak bertelur. “Bu Ayam, Bu Ayam!” kata Anak Itik. “Langit runtuh! Mari kita laporkan kepada Raja!” “Langit runtuh?!” tukas Ayam Betina. “Ya!” jawab Anak Itik. “Langit runtuh dan menimpa kepalaku!” “Jika begitu, mari kita laporkan kepada Raja,” kata Ayam Betina. Anak Itik dan Ayam Betina melangkah beriringan. Anak Itik di depan. Ayam Betina di belakang. Keduanya bertemu dengan seekor itik betina. “Bu Itik, langit runtuh!” Ayam Betina memberi tahu. “Ya!” timpal Anak Itik. “Langit runtuh dan menimpa kepalaku! 

Dongeng Anak Cerita yang Tak Sampai Pada Raja

Kita harus cepat melaporkan hal ini kepada Raja!” “Aku ikut,” ucap Itik Betina. Anak Itik, Ayam Betina, dan Itik Betina melangkah bersama. Tak lama, mereka bertemu seekor ayam jantan yang tengah mengais tanah mencari makanan. “Pak Ayam, langit runtuh!” seru Itik Betina pada ayam itu. “Ya!” kata Ayam Betina. “Benar sekali, Pak Ayam!” Anak Itik menambahkan. “Langit runtuh dan menimpa kepalaku! Kita harus cepat melaporkannya kepada Raja!” “Aku ikut,” kata Ayam Jantan. Anak Itik, Ayam Betina, Itik Betina, dan Ayam Jantan berjalan beriringan. Belum terlalu jauh keempatnya bersua dengan seekor itik jantan. “Langit runtuh, Pak Itik!” Ayam Jantan memberi tahu. “Betul,” kata Itik Betina. “Bu Ayam yang mengatakan padaku.” “Ya,” sahut Bu Ayam. “Aku diberi tahu anak itik ini. Langit runtuh dan menimpa kepalanya!” “Begitulah, Pak Itik,” Anak Itik menimpali. “Langit runtuh dan menimpa kepalaku! Saat ini kami tengah menuju istana untuk melaporkan kejadian ini kepada Raja. Kau mau ikut?” “Tentu,” sahut Itik Jantan. “Langit runtuh. Dunia pasti akan kiamat. Kabar ini h a r u s secepatnya sampai pada Raja!” Keenamnya segera melangkah beriringan. Mereka bertemu dengan seekor angsa jantan. “Langit runtuh, Pak Angsa!” seru Itik Jantan. “Kami sedang menuju istana untuk memberi laporan pada Raja!” “Langit runtuh!” tukas Angsa Jantan. “Kata siapa?” “Kata Ayam Jantan,” jawab Itik Jantan. Ayam Jantan lalu memberi tahu kalau ia pun diberi tahu Itik Betina. Itik Betina lalu menunjuk Ayam Betina, dan Ayam Betina menunjuk Anak Itik. “Sungguh!” kata Anak Itik. “Langit runtuh dan menimpa kepalaku! Kami kini tengah menuju istana. 

Raja harus segera tahu!” Angsa Jantan pun lalu ikut menuju istana. Binatang-binatang itu lalu bertemu seekor angsa betina. “Bu Angsa, langit runtuh!” Angsa Jantan memberi tahu. “Kami sedang dalam perjalanan menuju istana untuk melaporkan hal ini kepada Raja. Raja harus segera tahu!” “Aku ikut,” cetus Angsa Betina. Binatang-binatang itu melangkah beriringan. Tiba-tiba satu suara menyapa, “Selamat pagi, Kawan semua!” Binatang-binatang itu sangat terkejut. Mereka mendapati di depan mereka berdiri seekor serigala yang sangat buas. “Aku sangat lapar,” serigala itu berkata. “Sudah seminggu aku tidak memakan daging segar. Kalian akan kumakan satu per satu.” Serigala itu menjulurkan lidahnya. “Jangan!” seru Angsa Betina. “Langit runtuh. Dunia akan kiamat! Kami sedang menuju istana untuk menyampaikan hal ini pada Raja!” “Aku yang akan menyampaikan,” kata Serigala. Lalu dimakannya Angsa Betina. Dimakannya Angsa Jantan, Itik Jantan, Ayam Jantan, Itik Betina, Ayam Betina, dan terakhir Anak Itik. “Binatang-binatang bodoh!” seru Serigala gembira. “Semua mengantarkan diri untuk jadi santapanku! Dasar bodoh! Hahaha! Langit tak pernah runtuh!” Serigala itu melangkah gontai. Ia sangat kenyang. Tak disadarinya bahaya yang sedang mengintainya. Seorang pemburu membidikkan senapannya ke arahnya. Dor! Serigala itu terkulai. Si Pemburu sangat senang. Kini tiada lagi yang membahayakan ternak penduduk. Serigala jahat itu telah mati. Begitulah. Akhirnya, cerita langit runtuh tak pernah sampai pada Raja. D a n , langit memang tidak pernah runtuh.

Monday, July 4, 2011

Dongeng Anak: Dido dan Si Ayam Jago dan Dokter Nyitnyit

Dongeng Anak: Dido dan Si Ayam Jago

Dido, si kalkun, adalah raja di peternakan itu. Bila ada binatang lain mendekatinya, ia akan marah sekali. Dengan sayap dikembangkan lebar-lebar, jengger dan ekor ditinggikan, ia menakuti binatangbinatang itu. Kalau sudah melihat Dido begitu, binatang-binatang itu cepat menjauhinya. Mereka takut terkena hajarannya. Suatu hari, pemilik peternakan membeli seekor ayam jago. Tubuh ayam itu kecil, tapi tampak kekar dan kuat. Melihat keberadaannya di peternakan itu, Dido terlihat tak suka. Saat ayam jago itu tengah mengais-ngais tanah, penuh marah ia mendatanginya. Sayapnya dikembangkan lebar-lebar. Jengger dan ekornya dinaikkan. Si ayam jago tak takut. Penuh waspada ia terus mengais tanah. Tiba-tiba Dido menerjangnya sekuat tenaga. Dengan gesit ayam jago itu menghindar. Terjangan Dido luput. 

Dongeng Anak: Dido dan Si Ayam Jago

Ia lalu kembali menerjang, lalu sekali lagi menerjang. Akan tetapi, kembali dan kembali si ayam jago bisa menghindar. Akhirnya ayam jago itu kesal. Ketika Dido kembali menerjangnya, ayam jago itu tak menghindar. Ia balas menerjang. Buk! Ayam jago itu menghantam keras kepala Dido. Dido terjungkal. Lama ia diam tak bergerak. Lalu dengan terhuyunghuyung ia bangkit. “Ku-ku-ru-yuk!” Si ayam jago berkokok nyaring. Melihat itu Dido ketakutan. Cepat ia pergi menjauhi ayam itu. Ayam jago kemudian menjadi raja baru di peternakan itu. Bila ia berkokok, seketika Dido gemetar takut. Ia tak berani dekat-dekat dengannya. Ia juga tak berani sok lagi pada binatang-binatang lain di peternakan itu.


Dongeng Anak: Dokter Nyitnyit

Nyitnyit Kera adalah dokter gigi. Ia membuka klinik di Hutan Wauwau. Seluruh binatang penghuni hutan itu menyambut gembira. Kini mereka tak perlu lagi ke hutan lain untuk memeriksakan persoalan gigi mereka. Nyitnyit Kera amat periang. Ia menerima pasien-pasiennya dengan ramah. Ia mencabut gigi tanpa pasien merasa sakit. Dinasihatinya para pasien untuk menjaga kesehatan gigi. “Gosoklah gigi dengan teratur,” katanya pada para pasien. “Jangan banyak makan makanan manis.” Dua hari yang lalu Wangwang Beruang sakit gigi. Ia datang ke Dokter Nyitnyit. Ucap Dokter Nyitnyit usai memeriksanya, “Satu gigi Saudara busuk. Harus dicabut. Setelah itu Saudara tak akan sakit gigi lagi.” Wangwang Beruang ngeri mendengar itu. Ia gemetar, membayangkan betapa sakitnya giginya dicabut. Berkat nasihat teman yang mengantarnya, Wangwang akhirnya mau giginya dicabut. Dokter Nyitnyit pun beraksi. Gusi tempat gigi yang akan dicabut disuntik kebal. Katanya pada Wangwang, “Saudara tidak akan merasa sakit sedikit pun saat gigi Saudara dicabut.” Dokter Nyitnyit mencabut gigi Wangwang Beruang. Wangwang Beruang tak merasa sakit. 

Dongeng Anak: Dokter Nyitnyit

Namun, ia menjerit keras sekali dan baru berhenti saat Nyitnyit Kera menunjukkan gigi yang telah dicabutnya padanya. “Berapa bayarnya, Pak?” tanya Wangwang Beruang. “Empat puluh lima ribu.” “Bukan lima belas ribu, Pak?” “Biasanya memang segitu. Tetapi untuk Saudara lain,” ucap Dokter Nyitnyit. “Saudara tahu? Tadi, saat Saudara menjerit, dua pasien saya kabur ketakutan. Jadi kelebihan tiga puluh ribu untuk mengganti kerugian saya, karena kehilangan kedua pasien itu.” Mendengar penjelasan itu, para pasien yang tengah menunggu giliran seketika tertawa terpingkal-pingkal. Wangwang Beruang tersenyum kecut. Dokter Nyitnyit kemudian memintanya membayar lima belas ribu saja seperti biasa. Suatu hari, Pak Macan datang ke klinik Nyitnyit Kera. Dokter Nyitnyit lalu memeriksa giginya. Serunya, “Ada lubang… lubang… lubang… di gigi Bapak!” “Mengapa Bapak mengucapkan lubang berulang-ulang?” tanya Pak Macan. “Lho, hanya sekali, kok,” sahut Dokter Nyitnyit. “Apa yang Bapak dengar berulang-ulang itu adalah suara gema yang disebabkan oleh adanya lubang di gigi Bapak.” Begitulah Dokter Nyitnyit. Ia selalu memperlakukan para pasien dengan penuh ramah dan penuh canda. Semua suka padanya. Kian hari pasiennya kian banyak. Tak hanya penghuni Hutan Wauwau yang memeriksakan persoalan gigi mereka padanya, tetapi juga penghuni hutan-hutan lain.

Dongeng Anak: Dido dan Si Ayam Jago dan Dokter Nyitnyit

Monday, March 7, 2011

Dongeng Anak: Bola Yang Melompat-Lompat Sendiri dan Bu Landak Kehilangan Anak

Dongeng Anak: Bola Yang Melompat-Lompat Sendiri

Duk-duk-duk! Sebuah bola karet besar melompat-lompat menuruni jalan yang sepi. Pak Diman, si polisi lalu lintas, sangat heran melihat itu. Dia tak melihat ada orang yang memainkan bola itu. Dikejarnya bola itu, tetapi dia tak dapat menangkapnya. Bola itu melompat-lompat sangat cepat. Nenek Puri yang sedang berada di halaman rumahnya melihat ke jalan. Bola yang melompat-lompat melintas. “Hei, ada apa dengan bola itu?” seru Nenek Puri, penuh heran. “Mengapa bola itu melompat-lompat sendiri? Aneh sekali!” Nenek Puri pergi ke jalan. Dikejarnya bola itu. Di belakangnya Pak Diman berlari mengejar bola itu. Bola itu melewati SD Melati. Saat itu jam istirahat. Anak-anak bermain di halaman. Mereka melihat bola itu. Mereka pun berlarian keluar pintu gerbang sekolah. Mereka memerhatikan bola itu melompat-lompat. Mereka memerhatikan Nenek Puri dan Pak Diman yang berlari mengejar bola itu. “Nenek Puri, Pak Diman, ada apa dengan bola itu? Mengapa melompatlompat sendiri?” tanya anak-anak. Bola itu terus melompat-lompat. Nenek Puri dan Pak Diman terus mengejar. Anak-anak lalu ikut mengejar. 
Mereka kemudian bertemu Pak Sam, si tukang pos. Dia tengah mengendarai sepedanya. Nenek Puri dan Pak Diman yang kelelahan memanggilnya, “Pak Sam, bisakah Bapak mengejar bola itu?” Pak Sam mengejar bola itu. Nenek Puri dan Pak Diman duduk beristirahat di tepi jalan. Anak-anak terus mengejar bola itu. Bola itu akhirnya sampai di sebuah kebun. Bola itu melompat-lompat di rerumputan hijau, lalu, plung! Bola itu mendarat ke tengah kolam. Pak Sam cepat turun dari sepedanya. Diambilnya sebatang kayu panjang. Dengan kayu itu ditariknya bola ke tepi kolam. Pak Sam mengambil bola itu. Ditelitinya. Dia menemukan sebuah lubang di salah satu sisi bola itu. Maka, terjawablah penyebab bola itu melompat-lompat sendiri. Hihihi! Ternyata di dalam bola itu ada seekor katak besar. Katak itu tak bisa keluar dari dalam bola itu. Ia lalu melompat-lompat untuk keluar. Bola pun melompat-lompat karenanya. Pak Sam mengeluarkan katak itu. Kok-kok-kok! Katak itu bersuara. Mungkin mengucapkan terima kasih pada Pak Sam. Penuh gembira ia lalu melompat ke dalam kolam, lalu menyelam ke dasar kolam itu.

Dongeng Anak: Bu Landak Kehilangan Anak

Bu Landak melihat ke sekeliling toko dengan penuh cemas. “Ibu kehilangan sesuatu?” tanya Pak Kelinci, si penjaga toko. “Ya, saya kehilangan anak saya,” jawab Bu Landak. “Tadi ia di sini.” “Ya, saya melihatnya. Anak itu berpegangan pada baju Ibu saat saya melayani Ibu. Jangan cemas. Kita akan segera menemukannya. Ia tidak akan pergi jauh.” Bu Tikus Kebun masuk ke dalam toko. Ia mendengar pembicaraan Bu Landak dengan Pak Kelinci. Ia lalu membantu mencari. Mereka mencari di bawah meja kasir, di balik tumpukan barang-barang, dan di tumpukan kardus-kardus kosong. “Oh,” keluh Pak Kelinci seusai mencari di semua tempat. “Anak itu tidak ada di sini. Ia pasti telah keluar toko dan kita tidak melihatnya.” Bu Landak sangat cemas.

Dongeng Anak Bu Landak Kehilangan Anak

Bergegas ia keluar dari toko. “Tunggu, Bu Landak!” seru Bu Tikus Kebun. “Saya ikut!” “Saya juga,” kata Pak Kelinci. Ia lalu keluar. Toko tak lupa dikuncinya. Bu Landak, Pak Kelinci, dan Bu Tikus Kebun mencari di jalan-jalan sekitar toko tetapi jejak anak itu tak ada sama sekali. Mereka lalu mencari di semaksemak dan di balik pohon-pohon. Kasihan, anak Bu Landak tetap tidak ditemukan. Tiba-tiba ada kepala kecil muncul dari dalam keranjang belanja Bu Landak. Itu kepala anak Bu Landak. Ia memandang heran pada Bu landak, Pak Kelinci, dan Bu Tikus Kebun yang menatapnya dengan mata lebar penuh rasa terkejut. Bu Landak, Pak Kelinci, dan Bu Tikus Kebun lalu tertawa terpingkalpingkal. Si anak landak bingung tidak mengerti. “Pantas kita tidak menemukannya di mana-mana,” Pak Kelinci berkata. “Ternyata ia masuk ke dalam keranjang belanja Bu Landak. Lalu tertidur pulas di bawah tumpukan barang-barang belanjaan. Bikin cemas saja. Hahaha!”

Thursday, February 10, 2011

Dongeng Anak: Buah Kebaikan

Dongeng Anak: Buah Kebaikan

Ki Pala seorang yang bijak dan luhur budi. Dia adalah panglima perang Kerajaan Sokapanca. Suatu hari, dia menghadap sang Prabu. Penguasa Sokapanca itu tampak sedang murka. Di hadapannya bersimpuh seorang lelaki yang tangan dan kakinya dirantai. Sang Prabu berkata dengan penuh kemarahan, “Wahai, Panglima. Bawalah orang ini. Awasi dengan ketat. Besok pagi bawa dia ke hadapanku.” Ki Pala segera memerintahkan beberapa prajurit membawa orang itu. Dalam hati Ki Pala berkata, “Orang ini pastilah sangat berbahaya sebab sang Prabu menyuruhku menjaganya sangat hati-hati. Aku akan membawanya ke rumah agar dapat benar-benar mengawasinya.” Maka, Ki Pala menyuruh para prajurit membawa orang itu ke rumahnya. Ki Pala menjaganya dengan ketat. Aneh, Ki Pala kemudian merasa bila sesungguhnya orang itu tidak berbahaya. “Saudara dari mana?” tanyanya. “Kadipaten Sewu.” “Kadipaten Sewu?” “Ya.” Ki Pala menarik napas.

Dongeng Anak Buah Kebaikan

Katanya setelah itu, “Kadipaten Sewu. Ada kisah yang pernah saya alami ketika berada di kadipaten itu yang tak akan pernah saya lupakan.” Ki Pala lalu bercerita, “Dua tahun lalu, saya mendapat tugas dari sang Prabu menumpas kawanan pemberontak di daerah utara. Tapi sial, ternyata mereka lebih kuat. Sepuluh prajurit yang saya bawa gugur. Karena tak sanggup lagi melawan, saya lalu melarikan diri dan sampai di Kadipaten Sewu. Para pemberontak terus memburu. Barangkali saya sudah tak ada lagi di dunia ini bila seorang penduduk Kadipaten Sewu tak menolong. Dia menyembunyikan saya di rumahnya. Orang itu bernama Ki Jalu, seorang saudagar kaya. Dan saya belum sempat membalas kebaikan hatinya itu, sampai sekarang. Apakah saudara kenal dengan Ki Jalu?” “Sayalah orangnya.” “Apa?” Ki Pala terbelalak. Lalu, ditatapnya orang itu. Lama dia memerhatikan. Diteli-tinya. “Ki Jalu,” serunya. Dipeluknya orang itu. “Kenapa Tuan jadi begini? Apa yang telah terjadi?” Berurai air mata Ki Jalu pun bercerita.

Katanya dirinya telah menjadi korban fitnah Adipati Sewu. Dia dilaporkan sebagai gembong pemberontak oleh Adipati pada sang Prabu. Ki Pala amat geram. Maka, dia cepat menemui sang Prabu. Di-ceritakannya tentang Ki Jalu. Sang Prabu terhenyak. Dia menyesal telah berlaku ceroboh, tak menyelidiki lagi laporan yang diterima. Diperintahkannya Ki Pala menghadapkan Ki Jalu. Sang Prabu meminta maaf. Esoknya sang Prabu memerintahkan Ki Pala menyelidiki Adipati Sewu. Akhirnya didapatkan bahwa sesungguhnya sang Adipatilah gembong pemberontak itu. Dia lalu ditangkap dan dipenjarakan. Kemudian kepada Ki Jalu, sebagai balasan atas kebaikan yang pernah dilakukannya terhadap Ki Pala, sang Prabu mengangkatnya menjadi Adipati Sewu.

Dongeng Anak: Buah Kebaikan