Friday, December 30, 2011

Dongeng Anak: Batu Karang dan Cerpelai dan Berhitung Sambil Bermain

Dongeng Anak: Batu Karang dan Cerpelai

Seekor cerpelai datang ke sebuah hutan. Ia melihat banyak tikus di sana. Bangsa cerpelai sangat suka memakan tikus. Maka, cerpelai itu pun bermaksud untuk tinggal di hutan itu. Cerpelai lalu mencari tempat berdiam di balik semak-semak. Keesokan harinya, ia berjalan menaiki sebuah bukit kecil. Di puncak bukit ada sebuah batu karang. Cerpelai duduk di atasnya. “Siapa kau?” hardik Batu Karang. “Siapa pun kau, jangan duduk di atasku!” “Aku akan duduk di sini selama aku suka,” kata Cerpelai. “Bukankah engkau tidak bisa ke mana-mana?” Batu Karang cuma bisa mengeluh karena tak ada yang bisa dilakukannya lagi. Sementara, Cerpelai duduk di atas kaki belakangnya. Ia mengangkat kaki depannya di muka tubuhnya, memandang ke langit, dan berpura-pura berdoa. Ketika matahari terbenam, Cerpelai menuruni bukit, kembali ke tempatnya berdiam. Keesokannya ia melakukan hal yang sama. Begitu pula keesokan harinya dan hari-hari seterusnya. Para tikus merasa heran sekali melihat tingkah Cerpelai. Mereka lalu ingin tahu apa yang tengah dilakukannya. Maka, selama beberapa hari mereka memerhatikan. 

Dongeng Anak: Batu Karang

Akhirnya, Pemimpin Para Tikus menugaskan seekor tikus muda untuk bertanya pada Cerpelai mengenai apa yang tengah dikerjakannya. Si Tikus Muda segera menemui Cerpelai. Tanyanya pada binatang itu. “Hei, Cerpelai, apa yang tengah kaukerjakan di sini?” “Aku tengah berdoa,” jawab Cerpelai. Si Tikus Muda menuruni bukit. Diceritakannya tentang apa yang tengah dilakukan Cerpelai pada tikus-tikus lain. Para tikus lalu berpendapat bahwa cerpelai itu binatang yang mulia serta bijak. Ketika matahari terbenam, mereka menunggu Cerpelai di kaki bukit. Ucap Pemimpin Para Tikus pada Cerpelai, “Kami ingin memberi penghormatan untukmu.” Tikus-tikus mengitari Cerpelai sebanyak tiga kali putaran. Kemudian mereka pulang. Tak seekor tikus pun tahu, kalau salah seekor dari mereka telah lenyap. Keesokan hari, ketika matahari terbenam, kembali para tikus menunggu Cerpelai di kaki bukit, kemudian memberi penghormatan seperti kemarin. Dan seekor tikus lenyap seusai itu. Waktu berlalu. Penghormatan terhadap Cerpelai terus dilakukan tikustikus setiap hari. Akibatnya jumlah mereka menyusut. Seekor demi seekor lenyap. 

Beberapa bulan kemudian, Pemimpin Para Tikus menyadari adanya keanehan di antara kaumnya. Segera ia mengadakan pertemuan. “Ada yang tak beres,” katanya. “Bangsa kita telah berkurang banyak. Aku kira mereka telah dimangsa cerpelai itu.” Para tikus memutuskan untuk memeriksa kediaman Cerpelai. Keesokan hari, s a a t Cerpelai tengah di puncak bukit, mereka melakukannya. Mereka menemukan tumpukan tulang-belulang tikus. Para tikus sangat marah dan bermaksud membuat perhitungan. Sore datang menjelang. Tikus-tikus bersiap-siap. Para tikus muda dan kuat menaiki bukit. Tikus-tikus lain menunggu di kaki bukit. Matahari lalu terbenam. Cerpelai menuruni bukit. Tikus-tikus muda dan kuat mendorong batu karang yang biasa diduduki Cerpelai. Batu bergerak, lalu menggelinding menuruni bukit. Cerpelai yang tengah memikirkan mangsanya tidak mendengar kedatangan batu itu. Akhirnya batu itu mendarat di atas tubuh Cerpelai. “Pergi!” omel Cerpelai. “Jangan duduki aku!” “Aku akan berada di sini selamanya!” ucap Batu Karang. “Bukankah aku tidak bisa ke mana-mana?”

Dongeng Anak: Berhitung Sambil Bermain

Satu, hitungan dimulai. Dua, kau dan aku berpegangan. Tiga, ayo kita bermain! Empat, kita berdiri tegak. Lima, mari bergoyang. Enam, kaki menendang-nendang. Tujuh, angkat tangan ke atas. Delapan, beri hormat! Sembilan, ayo duduk! Sepuluh, mari kita mulai lagi dari awal

Dongeng Anak: Batu Karang dan Cerpelai dan Berhitung Sambil Bermain

Thursday, December 29, 2011

Dongeng Anak: Ayam jago Kecil dan Anak rubah

Dongeng Anak: Ayam jago Kecil dan Anak rubah

Ada seekor ayam jago kecil berbulu merah. Tak jauh dari rumahnya, hidup seekor anak rubah bersama ibunya. Setiap pagi, si Anak Rubah berkata pada ibunya, "Bu, aku ingin sekali memakan ayam jago kecil itu. " "Tangkaplah olehmu," kata si Ibu. "Susah, Bu," timpal si Anak. "Pintu rumahnya selalu tertutupAku tak bisa masuk. ""Bodoh sekali kau," omel si Ibu. "Kau seekor rubah. Kau kuat, sedangkan ia cuma seekor ayam jago kecil. Carilah cara bagaimana menangkapnya. " Keesokan paginya si Anak Rubah pergi ke rumah si Ayam Jago Kecil. Ia membawa sebuah karung dan seutas taliIa bersembunyi di dekat pintu. tak  lama itu pintu terbuka.  

Si Ayam Jago Kecil keluar untuk mengambil air. Tak dilihatnya si Anak Rubah yang bersembunyi di dekat pintu. tanpa diketahui olehnya, rubah kecil itu masuk ke dalam rumah. Si Ayam Jago Kecil kemudian kembali. Ia masuk ke dalam rumah. Ditutupnya pintu. Betapa terkejutnya ia saat matanya melihat si Anak Rubah. "Oh, tolong, tolong!" Teriak si Ayam Jago Kecil. Akan tetapi, tak ada yang datang menolong. Saat itu hari masih sangat pagi. Para tetangga masih terlelap dalam tidurnya. "Apa kabar, Teman?" Sapa si Anak Rubah. ia tertawa senang. "Pagi ini kau akan menjadi santapanku yang sangat lezat. Hakhakhak! "Lalu, diburunya si Ayam Jago Kecil. 13 dan Anak Rubah 3. ayam, Si Ayam Jago Kecil cepat melompat ke atas lemari. “Nah, kini kau tak dapat menangkapku!” serunya. Si Anak Rubah mencoba melompat ke atas lemari. Namun, ia tidak dapat mencapainya. 

Dongeng Anak: Ayam jago Kecil dan Anak rubah

Lemari itu terlalu tinggi buatnya. Ia lalu kembali mencoba. Akan tetapi tetap tidak berhasil. Si Anak Rubah kemudian mencari akal. Lama ia berpikir. Katanya kemudian, “Lihat aku!” Ia lalu berputar-putar. Semakin lama semakin cepat putarannya. Si Ayam Jago Kecil memerhatikan. Kepalanya diputar-putar mengikuti gerakan si Anak Rubah. Bertambah lama bertambah cepat ia memutar kepalanya. Akhirnya ia merasa pusing, lalu jatuh dari atas lemari. Kepalanya terus diputar-putar. “Hakhakhak!” si Anak Rubah tertawa, penuh kegembiraan. Lalu  ditangkapnya si Ayam Jago Kecil. Dimasukkannya ke dalam karung. ia lalu mengikat karung itu kuat-kuat dengan tali. Dipanggulnya karung itu, lalu cepat keluar rumah. "Hakhakhak!" Tawanya sepanjang jalan. "Pagi ini pagi yang sangat menyenangkan bagiku. Sarapan yang sangat lezat akan segera kunikmati! " Si Anak Rubah sampai di rumahnya. Ia menemukan pintu rumah terkunci. Ibunya sedang tak ada. "Aku akan mencari Ibu dulu," kata si Anak Rubah. Diletakkannya karung di depan pintu, lalu pergi. Si Ayam Jago Kecil merogoh saku bajunya. Dikeluarkannya gunting, jarum, dan benang. Dengan gunting ia lalu melubangi karung. Setelah itu, ia cepat keluar dari karung itu.  

Dimasukkannya sebuah batu besar ke dalamnya. Lubang kemudian dijahitnya kembali. Kemudian si Ayam Jago Kecil cepat pulang. Dikuntjinja pintu. Si Anak Rubah kemudian kembali. Ia bersama ibunya. diangkatnya karung itu. Berat. Si Anak Rubah mengira si Ayam Jago Kecil masih ada di dalam karung. Dibawanya karung itu ke dalam rumah. Penuh hati-hati ia kemudian membuka karung. Olala! Betapa sangat kecewanya ia. Di dalam karung itu hanya menemukan sebuah batu besar. Si Ayam Jago Kecil tak ada. "Huh!" omel si Ibu. "Mana ayam itu? Batu dibilang ayam! Dasar bodoh! " Si Anak Rubah cepat keluar rumah. Dilihatnya rumah si Ayam Jago Kecil. Tampak si Ayam Jago Kecil tengah duduk di dekat jendela. "Hihkhihk!" Tawa si ​​Ayam Jago Kecil pada si Anak Rubah. "Apa kabar, Teman? Apakah kau sudah sarapan? " Si Anak Rubah cepat masuk ke dalam. Dibantingnya pintu keras-keras. Tawanya tak ada lagi. Ia kesal dan malu. Sementara perutnya melilit lapar, dan sarapannya yang lezat telah tak ada. Apa yang akan dimakannya?

Dongeng Anak: Ayam jago Kecil dan Anak rubah

Friday, December 23, 2011

Dongeng Anak: Belajar Mendengkur

Dongeng Anak: Belajar Mendengkur

Pus dan Kus adalah dua anak kucing milik Bu Mirna. Suatu pagi, dengan mata masih mengantuk Pus berkata pada Kus, “Apakah kau ingat dengkuran merdu ibu kita?” “Ya,” sahut Kus sambil memalingkan kepalanya pada Pus. “Dengkuran yang terdengar saat Ibu senang pada kita.” “Atau saat Ibu kasihan pada kita,” Pus ikut menimpali. “Atau saat Ibu ingin kita segera tidur,” Kus menambahkan lagi. “Seandainya aku dapat mendengkur!” ujar Pus. “Pernah kucoba, tapi kok susah, ya? Coba, kucoba lagi.” Namun, cuma suara tercekik yang keluar, seperti ada tulang ikan yang tersumbat di kerongkongan Pus. “Sekarang aku yang mencoba,” kata Kus. “Sudah benar?” tanya Kus setelah mencoba mendengkur. “Sama sekali belum,” timpal Pus. “Dengkuranmu sangat buruk. Suaramu seperti kucing sedang sakit. Tak seperti dengkuran Ibu yang selalu merdu dan penuh kedamaian.” Tiba-tiba seekor lebah besar dan berbulu lembut masuk ke dapur melalui jendela. 
Ia mendengung naik dan turun di depan kaca. Tampaknya, ia sedang berusaha mencari jalan keluar. “Dengar!” seru Kus. “Lebah itu sedang mendengkur! Ayo, kita tanya padanya bagaimana ia melakukannya!” Kus melompat ke sebuah kursi dan kemudian ke meja. Ia mengapai-gapaikan kaki depannya. “Hei, Lebah, dapatkah kau memberitahu kami cara mendengkur?” tanya Kus. “Mendengkur?” tanya si Lebah heran sambil berputar. “Aku tidak mendengkur! Aku berdengung seperti yang dilakukan semua lebah. Aku berdengung karena sayapku. Kau tak mempunyai sayap, berarti kau tidak dapat berdengung.” Tak lama kemudian, si Lebah menemukan bagian dari jendela yang terbuka. Ia pun keluar menuju matahari pagi yang bersinar lembut. “Jangan kauhiraukan,” hibur Pus. “Ia telah pergi. Tunggu! Coba kau dengar! Aku seperti mendengar suara dengkuran yang lain lagi.” Kus memasang telinganya. Ya, ia pun mendengar suara lembut dan indah. Ternyata, suara itu berasal dari ketel di atas kompor. Kus menghampiri ketel itu dan memandanginya. 

Ia lalu bertanya dengan sopan, “Ketel, dapatkah kau memberitahu kami cara mendengkur?” “Aku akan memberitahu kalian jika aku dapat,” jawab si Ketel dengan ramah. “Tapi, aku tidak dapat mendengkur. Yang kau dengar tadi adalah suara nyanyianku. Aku selalu menyanyi apabila air di dalam tubuhku telah mendidih. Bu Mirna akan mengangkatku dari atas kompor sebelum aku bergetar.” Bu Mirna pun masuk. Setelah yakin air dalam ketel telah mendidih, dia mengangkat ketel itu dari atas kompor. Dia lalu pergi ke ruang tamu mengambil mesin mengisap debu. Dia hendak membersihkan karpet. Mesin pengisap debu itu mengeluarkan suara desingan keras sewaktu mengisap debu. Kedua anak kucing itu menutup telinga mereka. Sesuatu sedang mendengkur dengan keras sekali. Lantai tampak bergetar. Pus dan Kus merayap ke bawah meja, memerhatikan mesin pengisap debu yang maju mundur di atas karpet dan mendengkur dengan sangat keras. Bu Mirna mematikan mesin pengisap debu itu sebentar. Suara berisik pun berhenti. Anak-anak kucing dengan tidak sabar bertanya, “Maukah kau mengajari kami cara mendengkur? Kami tidak perlu mendengkur terlalu keras sepertimu. Perlahan saja dan lembut.” “Aku tidak dapat mengajari kalian cara mendengkur,” raung si Mesin Pengisap Debu ketika Bu Mirna menyalakannya kembali. “Kalian harus memiliki kantung debu di dalam tubuh kalian dan juga mesin. Apa kalian mau memakan debu sepertiku? Kadang-kadang aku memakan juga peniti, batang korek api, rambut, dan batu-batu kecil. 

Apa kalian mau?” “Ah, tidak. Kami lebih suka memakan susu dan ikan. Terima kasih,” jawab kedua anak kucing, lalu mereka merangkak kembali ke dalam keranjang tidur mereka. “Sudahlah! Kita tak usah pusing memikirkan cara mendengkur,” kata Pus. “Tampaknya sangat sulit. Ayo, kita main saja! Aku akan mencoba menangkap ujung ekorku saja.” Pus lalu memutar-mutar tubuhnya. Ekornya pun ikut berputar sehingga ia tidak pernah dapat menangkapnya. Lucu sekali. Ketika berhenti berputar, ia merasa sangat pusing. Petang itu, ketika melihat Pus dan Kus, Bu Mirna meletakkan rajutannya di atas meja. Dia lalu membaringkan kedua anak kucing di pangkuannya dan mengusap-usap mereka dengan lembutnya. Ya, ia memang sangat menyayangi mereka. “Aku mendengar suara dengkuran,” ucap Pus. “Aku juga,” jawab Kus. “Begitu lembut. Dengkuran siapa, ya?” “Entahlah. Aku sudah mengantuk.” “Oh, kau yang mendengkur!” seru Kus gembira. “Bukan, itu kau!” tukas Pus. Mereka lalu mendengarkan suara dengkuran itu lagi. “Oh, itu suara dengkuran kita!” seru mereka gembira. Akhirnya, Pus dan Kus sangat bahagia karena dapat mendengkur seperti ibu mereka.

Dongeng Anak: Belajar Mendengkur

Tuesday, December 20, 2011

Dongeng Anak: Bangunlah, Pak Kus

Dongeng Anak: Bangunlah, Pak Kus

Matahari telah menampakkan diri. Bunga-bunga telah bermekaran dan burung-burung berkicau di sarangnya. Para binatang peliharaan pun telah terbangun. Mereka menggeliat, menguap, dan merasa lapar. Waktu terus berlalu. Para binatang peliharaan yang sedang kelaparan, mendengar burung-burung murai bernyanyi dan burung-burung merpati berkukur. Namun, mereka tidak juga mendengar suara derap sepatu Pak Kus yang sedang mereka nantikan. “Ku-ku-ru-yuk!” para Ayam Jantan berkokok. “Oh, tidak adakah yang mengeluarkan kami dari kandang ini dan memberi kami makan?” “Kut, kut, kut! Hai, apakah yang telah terjadi? Mengapa kita belum juga dikeluarkan dari kandang dan diberi makan?” tanya para Ayam Betina sambil mengepak-ngepakkan sayap mereka. 

Dongeng Anak: Bangunlah, Pak Kus

Mereka juga kelihatan kesal. “Moo, moo, moo!” Sapi menukas. “Pak Kus pasti datang dan memerah susuku! Aku mempunyai banyak susu!” “Meong, meong, meong!” ucap Kucing. “Aku ingin minum susu! Tempat susuku telah kering! Aku sudah sangat lapar!” “Aku juga ingin makan!” timpal Anjing. “Aku telah lama terbangun, tetapi belum juga diberi makan!” Kemudian, semua binatang peliharaan itu bersamasama berteriak dengan keras, “Bangunlah, Pak Kus! Keluarkan kami dan beri kami makan!” Namun, Pak Kus tidak mendengar. Tirai jendela kamarnya masih tertutup rapat. Dia masih tidur. “Tolonglah, bangunkan dia untuk kami!” kata para binatang pada matahari. “Akan kucoba,” jawab Matahari. “Jika aku dapat menemukan sebuah celah di antara tirai itu, aku akan membangunkannya.” Ia lalu segera mencari dan menemukannya. Ia mengirimkan sinarnya yang keemasan. Sinar itu menimpa wajah Pak Kus, tepat mengenai matanya.

Namun, Pak Kus tidak merasakan apa-apa. “Aku tak bisa membangunkannya. Tapi, aku menemukan sesuatu!” lapor Matahari pada mereka. “Aku melihat beker yang ada di sisi pembaringan Pak Kus berhenti! Beker itu tidak mengeluarkan bunyi. Barangkali mati tadi malam!” “Mati?” seru para binatang peliharaan. “Oh, dia pasti lupa memutarnya sebelum tidur!” “Ya, jam beker itu tidak berbunyi pada pukul enam seperti biasanya untuk membangunkan Pak Kus. Beker itu mati,” Matahari menambahkan. “Kita harus menemukan cara lain untuk membangunkannya,” para binatang peliharaan berkata, “atau kita semua tak akan memperoleh makanan hari ini.” “Aku akan mencoba untuk membangunkannya,” ucap Kucing. “Mudahmudahan aku dapat menemukan jalan untuk masuk ke kamarnya.” Ia segera memanjat dinding dan masuk melalui jendela yang terbuka. Ia mendarat perlahan di sisi Pak Kus dan mengetuk pelan beker itu dengan cakarnya. Pak Kus tersenyum dalam tidurnya. Ia lalu menggelitik hidung Pak Kus dengan kumisnya. Pak Kus bersin, tetapi kemudian melanjutkan tidurnya. Kucing lalu menggigit telinga Pak Kus dengan pelan. “Nyamuk-nyamuk nakal!” omel Pak Kus. Kemudian kucing itu menggigit telinga Pak Kus dengan lebih keras.

Pak Kus menyentilnya dengan jari telunjuknya. Dengan putus asa kucing itu menggigit keras-keras telinga Pak Kus hingga meninggalkan rasa sakit. Pak Kus terbangun dan duduk sambil memerhatikan si kucing. Kemudian dia melihat beker. Beker itu tidak berbunyi. Dia pun segera melompat dari pembaringan dan melihat ke arloji yang ada di atas meja. “Jam delapan! Oh!” teriak Pak Kus. “Aku kesiangan!” dia kembali berteriak. Segera dia berganti pakaian dan keluar. Para binatang peliharaan gembira mendengar suara derap sepatunya. Dia segera membuka pintu kandang dan memberi mereka makan. Dia pun tak lupa memerah susu. Setelah semuanya beres, Pak Kus duduk di ruang makan menikmati sarapannya. Dia makan dengan sangat lahap seperti para binatang peliharaannya. Ketika melihat kucingnya, dia memberi makanan tambahan berupa semangkuk besar bubur karena telah membangunkannya. Ya, Pak Kus telah lupa menyetel jam bekernya kemarin!

Dongeng Anak: Bangunlah, Pak Kus

Monday, December 19, 2011

Dongeng Anak: Biarkan Ia Bebas dan Bus Kecil Yang Takut Gelap

Dongeng Anak: Biarkan Ia Bebas

Aku punya seekor kutilang. Aku membelinya dari Kang Adun. Mama sangat tidak suka karena aku suka lalai pada peliharaanku, seperti yang kulakukan seminggu yang lalu. Aku minta dibelikan ikan koi. Mama lalu membelikannya. Mulanya aku merawatnya dengan baik. Tapi, kemudian aku melupakan peliharaanku. Aku tak memberinya makan dan juga tak mengganti-ganti airnya. Akibatnya, koi itu mati. Mama kesal melihatnya. “Awas kalau tidak merawatnya dengan baik,” ancam Mama, sewaktu aku merengek minta dibelikan seekor burung kutilang. “Aku janji akan merawatnya dengan baik, Ma,” ucapku. Mama pun mengizinkan. Aku lalu membeli seekor kutilang pada Kang Adun, si pedagang burung. Aku senang sekali dengan kutilangku. 
Setiap pagi sebelum ke sekolah, aku memberinya makan. Kuganti air minumnya. Namun, ternyata kutilang itu tidak lama kumiliki. Kemarin, setelah memberi makan dan minum kutilang itu, Aku lupa menutup pintu sangkarnya. Ketika aku kembali dari sekolah, kutilangku sudah tak ada. Pintu sangkarnya terbuka. Aku ingat apa yang telah aku lakukan pagi tadi. Aku lupa menutup pintu sangkar! Aku menyesali keteledoranku. “Sudahlah,” hibur Mama. “Bukankah lebih baik kutilang itu hidup bebas? Ia bisa pergi ke mana saja, mencari makan sesukanya, dan bermain bersama teman-temannya. Tidak enak, lho, hidup dalam sangkar, meski diberi makan. Bayangkan kalau kamu dikurung di rumah, tidak boleh ke mana-mana, tidak boleh bermain dengan teman-temanmu!” Aku merenungkan kata-kata Mama. Bila aku dikurung di rumah, tak boleh ke mana-mana, tak boleh bermain dengan teman-teman, hiii, pasti tak enak sekali! Seperti dipenjara rasanya, meski diberi makan enak, meski diberi banyak mainan. Aku bergidik ngeri.

Dongeng Anak: Bus Kecil Yang Takut Gelap

Ada sebuah bus kecil berwarna merah. Ia tinggal di sebuah garasi bersama ayah dan ibunya. Setiap pagi ketiganya diisi bensin dan air. Kemudian mereka mengangkut orang, dari desa tempat tinggal mereka ke kota besar di tepi laut, pulang balik. Si Bus Kecil selalu melakukan perjalanan di siang hari. Pada malam hari ia tidak berani. Ia sangat takut gelap. Suatu hari ibunya berkata, “Dengarlah! Ibu akan menceritakan sebuah cerita.” Ibu Bus lalu mulai bercerita, “Dulu sekali, Gelap takut pada bus. Tapi, Ibu Gelap yang secantik bunga melati berkata pada anaknya, ‘Kau tidak usah takut. Ayolah keluar! Sekarang sudah saatnya kau keluar. Kalau kau bersembunyi terus, orang-orang tidak tahu bahwa saat mereka untuk tidur telah tiba. Bintang-bintang pun tidak tahu bahwa sudah saatnya mereka keluar untuk memancarkan sinar. Ayolah keluar! Tak usah takut.’ Maka, Gelap yang tengah bersembunyi di balik matahari keluar dan merangkak turun ke jalan dan rumah-rumah. 

Dongeng Anak: Bus Kecil Yang Takut Gelap

Bus-bus tampak sedang bergerak ke sana ke mari. Gelap memberanikan diri merangkak lebih jauh. Tak lama kemudian, lampu-lampu di sepanjang jalan dinyalakan. Para sopir bis juga menyalakan lampu bus. “Gelap terus merayap. Ia tak menyadari ada sebuah bus bergerak menembusnya dan membunyikan klakson. Menyenangkan sekali! Gelap pun tersenyum gembira. Setelah itu banyak bus menembus Gelap dengan lampulampu mereka yang menyala. Orang-orang di dalam bus-bus pun tampak sangat menikmati suasana yang sangat indah itu. “Ketika bulan bersinar, Gelap bermain petak umpet di antara rumahrumah. Ketika pagi tiba, matahari bersinar dan mengantarkan Gelap pulang ke ibunya. Kini, Gelap tak takut lagi pada bus.” Ketika Ibu Bis selesai bercerita, si Bus Kecil berkata, “Saya siap untuk pergi keluar sekarang, Bu.” Ketika si Pengendara Bus Kecil datang dan menyalakan mesin serta lampu Bus Kecil, orang-orang mulai naik dan duduk. Setelah bus penuh, si Bus Kecil pun berangkat. Ia menembus gelap, menuruni bukit, menuju ke kota besar di tepi laut.

Dongeng Anak: Biarkan Ia Bebas dan Bus Kecil Yang Takut Gelap

Thursday, December 15, 2011

Dongeng Anak: Balasan Bagi Yang Rakus

Dongeng Anak: Balasan Bagi Yang Rakus

Suatu sore, seekor ayam jago berjalan mendatangi seekor gajah. Setelah dekat ia berkokok, “Ku-ku-ru-yuk!” Gajah merasa heran sekali. “Ada apa, Bung Ayam?” tanya Gajah. Ayam Jago tak menyahut. Dikepak-kepakkan sayapnya. Kakinya dikaiskaiskan ke tanah. Ia mematuki butiran beras. Lalu, kembali ia berkokok, “Kuku- ru-yuk!” Lama Gajah memerhatikan Ayam Jago. Tanyanya, “Bung Ayam, katakan padaku, siapa menurutmu yang makannya lebih banyak? Kau, atau aku?” Ayam Jago berhenti mematuk-matuk. Ditatapnya Gajah dengan tajam. Lalu katanya, “Tentu saja aku!” Gajah bersuara nyaring. Belalainya yang besar dan panjang diangkatnya. 

Dongeng Anak: Balasan Bagi Yang Rakus

Ayam Jago berkokok keras, “Ku-ku-ru-yuk! Aku tidak hanya makan lebih banyak darimu, hei, Pak Gajah, tapi juga aku makan lebih cepat!” Mereka lalu memutuskan untuk mengadakan pertandingan untuk menentukan siapa yang makannya paling banyak. Mereka mengundang semua binatang untuk datang ke tepi sungai. “Teman-teman, hari ini kita akan melihat siapa yang makannya lebih banyak. Ayam Jago atau Gajah?” Harimau berkata. Gajah dan Ayam Jago lalu mulai makan. Gajah makan sampai perutnya kenyang. “Aku mau berhenti makan. Jika tidak, perutku bisa meledak,” ucap Gajah setelah beberapa lama. Saat itu udara sore sangatlah panas. Gajah mengantuk. Segera ia terlelap. Ayam Jago terus saja makan. Dipatukinya butiran-butiran beras. “Ku-kuru- yuk!” ia berkokok. Para binatang yang menonton kesal melihatnya. “Jangan banyak lagak!” omel Ular. Ayam Jago tak memedulikan. Gelap hampir datang. Gajah bangun dari tidurnya. Ia melihat Ayam Jago yang masih makan. Binatang-binatang yang menonton memberitahunya kalau Ayam Jago belum juga berhenti makan sejak tadi. “Rakus sekali,” kata Gajah. Ayam Jago melihat ke arah Gajah. Ejeknya, “Apakah kau tidur nyenyak, Pak Gajah? Apakah kau tidak ingin meneruskan pertandingan? Ku-ku-ru-yuk! Kau tidak bakal menang! Kau lemah dan bodoh!” Gajah meneruskan makannya. Tak lama ia pun berhenti. “Oh, aku tak mampu untuk meneruskan makanku lagi!” keluhnya. “Perutku sakit sekali!” Ia memerhatikan Ayam Jago yang masih mematuki butiran beras. Ayam Jago sangat senang. “Aku menang! Akulah yang paling hebat!” serunya. Ia membentangkan sayapnya, kemudian melompat ke punggung Gajah. Penuh kemarahan Gajah menggoyangkan tubuhnya agar Ayam Jago turun. 

Ia lalu berlari masuk hutan. Ayam Jago mengepak-ngepakkan sayapnya lalu meneruskan makannya. Binatang-binatang yang menonton memerhatikan dengan heran Ayam Jago yang terus saja makan. Mereka merasa cemas. Cepat mereka menemui Gajah. “Bung Ayam,” menasihati Gajah, “kalau kau terus saja makan, kau akan sakit nanti. Berhentilah.” Namun, Ayam Jago terus saja mematuki butiran beras. “Ku-ku-ru-yuk!” Ayam Jago berkokok. Binatang-binatang yang menonton bubar. Baru saja mereka akan memasuki hutan, ketika tiba-tiba mereka mendengar suara aneh. Suara Ayam Jago! Binatang-binatang itu cepat mendatangi Ayam Jago kembali. Mereka melihat muka ayam itu memerah. Lidahnya kelu. Lehernya tercekik karena kebanyakan makan. “T-tol-tolong ak-akuuu!” seru Ayam Jago. Ia menggeloso roboh dan mati. “Itulah akibat terlalu rakus,” ucap Gajah pilu.