Dongeng Anak: Buah Semangka Pak Rio
Pak Rio menatap buah semangkanya dengan sedih. Kemarin, buah itu
sangat segar dan besar. Tapi kini? Oh, buah itu mengerut layu dan
membusuk! Pak Rio duduk termangu memikirkan hal itu. Air matanya
menetes.
“Oh, berhentilah menangis! Air matamu membuat aku basah kuyup!” satu
suara terdengar marah.
Pak Rio melihat ke bawah. Dia menemukan seekor tikus kebun sedang
memeras pakaiannya. “Oh, maaf,” seru Pak Rio. “Aku sangat sedih. Tadinya
aku berharap tahun ini aku bisa menang di lomba buah semangka terbaik.
Tapi… kejadian seperti tahun-tahun lalu terjadi lagi. Buah semangkaku yang
besar dan cantik tiba-tiba saja membusuk sebelum aku mengikuti lomba itu.
Pak Kuro, tetangga sebelah rumahku, pasti akan memenangkan lomba itu,
seperti tahun-tahun lalu. Buah semangkanya tak pernah mengalami hal buruk
seperti yang selalu aku alami.”
“Aku tahu mengapa kau tidak pernah bisa memenangkan lomba itu,”
kata si Tikus Kebun. “Suatu malam aku keluar dari liangku. Aku melihat Pak
Kuro menusukkan sebatang kayu seperti jarum ke semangkamu. Itu sebabnya
buah semangkamu membusuk.
Dongeng Anak: Buah Semangka Pak Rio
Tapi tak usah sedih. Aku akan membantumu.
Aku punya teman yang bisa menolongmu. Apa kau masih punya buah
semangka?”
“Ada. Tapi kecil.”
Pak Rio menunjukkan buah semangkanya yang hampir sebesar ketimun.
“Kau pasti akan memenangkan lomba itu,” kata si Tikus kebun. Ia kemudian
bergegas menuju gua di tengah hutan, menemui kawannya, si Pengatur Cuaca. Tikus Kebun menceritakan kesusahan yang dialami Pak Kuro.
“Tenanglah,” kata si Pengatur Cuaca. “Itu mudah. Aku akan membuat
matahari bersinar terik selama tiga hari sebelum lomba itu diadakan. Buah
semangka Pak Rio akan tumbuh besar, melebihi buah semangka sebelumnya.
Namun, buah semangka Pak Kuro akan menjadi sangat masak dan
membusuk.”
Si Tikus Kebun merasa senang. Dan seperti
janji si Pengatur Cuaca, matahari pun
bersinar lebih terik dari biasanya. Buah
semangka Pak Rio tumbuh lebih besar
dari buah-buah semangka sebelumnya. Pak Rio sangat
senang. Sementara di kebun sebelah, terdengar suara
marah-marah Pak Kuro sebab semangkanya membusuk.
Saat lomba, olala, tentu saja buah semangka Pak Rio
menjadi pemenang. Buah itu sangat besar. Belum
pernah ada semangka sebesar itu selama ini. Semua
orang sangat kagum. Sementara itu, Pak Kuro
merasa malu sekali.
Pak Rio mengucapkan terima kasih pada Tikus
Kebun. Dia memintanya tinggal di kebunnya dan
memberinya makan setiap hari.
Dongeng Anak: Buaya dan Burung Penyanyi
Buaya dan Burung Penyanyi bersahabat akrab. Hari ini mereka asyik
bercakap. Burung Penyanyi bertengger di hidung Buaya. Namun,
beberapa saat kemudian, Buaya merasa mengantuk. Ia mengusap dan
membuka mulutnya lebar. Oh, Burung Penyanyi yang bertengger di hidung
Buaya terpeleset masuk ke dalam mulut Buaya. Sayangnya, Buaya tidak tahu.
Ia bingung mencari Burung Penyanyi yang kini tak ada lagi di hidungnya.
“Aneh! Ke mana Burung Penyanyi?” gumam Buaya. “Ia pasti sedang
mengajakku bercanda.” Buaya melihat ke belakang, ke ekornya. Namun,
burung itu tidak ada. Buaya lalu mencari Burung Penyanyi di semak-semak.
Ia memasukkan moncongnya ke semak-semak di tepi sungai. Namun, Burung
Penyanyi tetap tidak ditemukannya. “Ke mana ia?” gumam Buaya kembali.
Buaya akhirnya memejamkan mata untuk tidur. Akan tetapi, tiba-tiba
terdengar senandung merdu yang keluar dari dalam dirinya. “Oh!” serunya
heran. Matanya terbuka lebar. “Selama hidup, baru kali ini aku dapat
bernyanyi. Wow, aku akan mengajak Burung Penyanyi sahabatku untuk
bernyanyi bersama. Pasti akan sangat menyenangkan!”
Buaya kemudian asyik mendengarkan senandung yang keluar dari dalam
dirinya. Setelah beberapa lama ia merasa lelah.
Ia lalu membuka mulutnya
dan menguap lebar-lebar. Ketika akan menutup matanya, ia melihat satu
makhluk bertengger di hidungnya. Makhluk itu kelihatan sangat marah.
Ia si Burung Penyanyi. “Kau jahat!” omel burung itu. “Mengapa kau tidak
memberi tahu kalau ingin membuka mulut? Aku terjatuh ke dalam mulutmu,
tahu? Menyebalkan!” Buaya mengernyitkan dahi.
“Jadi,” katanya, “senandung
yang terdengar dari
dalam diriku itu suara
senandungmu? Bukan
senandungku?”
“Ya!” jawab Burung
Penyanyi. Ekornya
digoyang-goyangkan.
“Kau kan tahu, kau tidak
bisa bernyanyi sama sekali!
Suaramu sangat sumbang!
Tak enak didengar!”
Buaya sangat sedih mendengar
perkataan itu. Air matanya menetes.
“Aku pikir senandung itu suaraku,” katanya pilu. “Kau tahu, aku ingin sekali
bisa bernyanyi. Tadi kupikir aku sudah bisa menyanyi. Ternyata? Oh, betapa
malangnya aku yang bersuara buruk!”
Burung Penyanyi merasa iba. Ia segera mencari cara untuk menghibur
sahabatnya itu. “Teman, bagaimana kalau kau membuat gelembung gelembung
air dan aku bersenandung? Kita lakukan secara bersamaan. Suara
yang terdengar pasti sangat enak didengar.”
Buaya setuju. Ia lalu memasukkan moncongnya ke dalam air dan membuat
gelembung-gelembung. Burung Penyanyi bernyanyi. Suara nyanyiannya
sangat pas dengan suara gelembung-gelembung air yang dibuat Buaya. Buaya
senang sekali. Sejak itu mereka berdua selalu melakukan hal itu setiap hari.
Agar Burung Penyanyi tidak masuk lagi ke dalam mulutnya, Buaya selalu
memberi tahu dulu sebelum membuka mulutnya. Wow, mereka rukun, ya!