Dongeng Anak: Belajar Mendengkur
Pus dan Kus adalah dua anak kucing milik Bu Mirna. Suatu pagi, dengan
mata masih mengantuk Pus berkata pada Kus, “Apakah kau ingat
dengkuran merdu ibu kita?”
“Ya,” sahut Kus sambil memalingkan kepalanya pada Pus. “Dengkuran
yang terdengar saat Ibu senang pada kita.”
“Atau saat Ibu kasihan pada kita,” Pus ikut menimpali.
“Atau saat Ibu ingin kita segera tidur,” Kus menambahkan lagi.
“Seandainya aku dapat mendengkur!” ujar Pus. “Pernah kucoba, tapi kok
susah, ya? Coba, kucoba lagi.” Namun, cuma suara tercekik yang keluar,
seperti ada tulang ikan yang tersumbat di kerongkongan Pus.
“Sekarang aku yang mencoba,” kata Kus. “Sudah benar?” tanya Kus setelah
mencoba mendengkur.
“Sama sekali belum,” timpal Pus. “Dengkuranmu sangat buruk. Suaramu
seperti kucing sedang sakit. Tak seperti dengkuran Ibu yang selalu merdu dan
penuh kedamaian.”
Tiba-tiba seekor lebah besar dan berbulu lembut masuk ke dapur melalui
jendela.
Ia mendengung naik dan turun di depan kaca.
Tampaknya, ia sedang berusaha mencari jalan keluar.
“Dengar!” seru Kus. “Lebah itu sedang mendengkur! Ayo, kita tanya
padanya bagaimana ia melakukannya!” Kus melompat ke sebuah kursi dan kemudian ke meja. Ia mengapai-gapaikan
kaki depannya.
“Hei, Lebah, dapatkah kau memberitahu kami cara mendengkur?” tanya
Kus.
“Mendengkur?” tanya si Lebah heran sambil berputar. “Aku tidak mendengkur!
Aku berdengung seperti yang dilakukan semua lebah. Aku berdengung karena
sayapku. Kau tak mempunyai sayap, berarti kau tidak dapat berdengung.”
Tak lama kemudian, si Lebah menemukan bagian dari jendela yang terbuka.
Ia pun keluar menuju matahari pagi yang bersinar lembut.
“Jangan kauhiraukan,” hibur Pus. “Ia telah pergi. Tunggu! Coba kau dengar!
Aku seperti mendengar suara dengkuran yang lain lagi.”
Kus memasang telinganya. Ya, ia pun mendengar suara lembut dan indah.
Ternyata, suara itu berasal dari ketel di atas kompor. Kus menghampiri ketel
itu dan memandanginya.
Ia lalu bertanya dengan sopan, “Ketel, dapatkah kau
memberitahu kami cara mendengkur?”
“Aku akan memberitahu kalian jika aku dapat,” jawab si Ketel dengan
ramah. “Tapi, aku tidak dapat mendengkur. Yang kau dengar tadi adalah suara
nyanyianku. Aku selalu menyanyi apabila air di dalam tubuhku telah mendidih.
Bu Mirna akan mengangkatku dari atas kompor sebelum aku bergetar.”
Bu Mirna pun masuk. Setelah yakin air dalam ketel telah mendidih, dia
mengangkat ketel itu dari atas kompor. Dia lalu pergi ke ruang tamu mengambil
mesin mengisap debu. Dia hendak membersihkan karpet.
Mesin pengisap debu itu mengeluarkan suara desingan keras sewaktu
mengisap debu.
Kedua anak kucing itu menutup telinga mereka. Sesuatu sedang mendengkur
dengan keras sekali. Lantai tampak bergetar. Pus dan Kus merayap ke bawah
meja, memerhatikan mesin pengisap debu yang maju mundur di atas karpet
dan mendengkur dengan sangat keras.
Bu Mirna mematikan mesin pengisap debu itu sebentar. Suara berisik pun
berhenti. Anak-anak kucing dengan tidak sabar bertanya, “Maukah kau mengajari
kami cara mendengkur? Kami tidak perlu mendengkur terlalu keras sepertimu.
Perlahan saja dan lembut.”
“Aku tidak dapat mengajari kalian cara mendengkur,” raung si Mesin
Pengisap Debu ketika Bu Mirna menyalakannya kembali. “Kalian harus
memiliki kantung debu di dalam tubuh kalian dan juga mesin. Apa kalian
mau memakan debu sepertiku? Kadang-kadang aku memakan juga peniti,
batang korek api, rambut, dan batu-batu kecil.
Apa kalian mau?”
“Ah, tidak. Kami lebih suka memakan susu dan ikan. Terima kasih,” jawab
kedua anak kucing, lalu mereka merangkak kembali ke dalam keranjang tidur
mereka.
“Sudahlah! Kita tak usah pusing memikirkan cara mendengkur,” kata Pus.
“Tampaknya sangat sulit. Ayo, kita main saja! Aku akan mencoba menangkap
ujung ekorku saja.”
Pus lalu memutar-mutar tubuhnya. Ekornya pun ikut berputar sehingga ia
tidak pernah dapat menangkapnya. Lucu sekali. Ketika berhenti berputar, ia
merasa sangat pusing.
Petang itu, ketika melihat Pus dan Kus, Bu Mirna meletakkan rajutannya
di atas meja. Dia lalu membaringkan kedua anak kucing di pangkuannya dan
mengusap-usap mereka dengan lembutnya. Ya, ia memang sangat menyayangi
mereka.
“Aku mendengar suara dengkuran,” ucap Pus.
“Aku juga,” jawab Kus. “Begitu lembut. Dengkuran siapa, ya?”
“Entahlah. Aku sudah mengantuk.”
“Oh, kau yang mendengkur!” seru Kus gembira.
“Bukan, itu kau!” tukas Pus.
Mereka lalu mendengarkan suara dengkuran itu lagi.
“Oh, itu suara dengkuran kita!” seru mereka gembira.
Akhirnya, Pus dan Kus sangat bahagia karena dapat
mendengkur seperti ibu mereka.